Tuesday 24 March 2015

Lelaki Pemalu





 

Senja akan segera berlalu, seorang lelaki melintas menyimpan malu. Aku.

Aku pulang. Setelah berjam-jam melakukan rencana yang hampir selalu meleset. Lalu menuju kamar, setelah melakukan ritual makan malam bersama keluarga yang selalu menyibukkan diri. Tersita tatapanku kepada buku yang belum habis terbaca, halaman 117: “Satu-satunya kenikmatan sejati di dunia ini adalah untuk menyaksikan segala sesuatu ‘berbalik’ menjadi bencana, untuk akhirnya keluar dari determinasi dan indeterminasi, dari peluang dan keniscayaan, dan memasuki kenyataan tentang keterkaitan yang memusingkan dimana, suka atau tidak suka, segala sesuatu sampai pada akhirnya tanpa melalui cara-caranya, dimana kejadian-kejadian menghasilkan efek tanpa melalui penyebabnya.” Oh, persetan Jean Baudrillard. Semangat berkenalan dengan konsep reversibilitas lemah menguap. Ruang mendadak senyap, saat seolah terbisik kalimat dari lorong laci meja belajar: “Karena dunia ditiup dengan ketidakpastian!” Sejenak dingin, apakah Sinterklaus salah alamat? Mimpiku selalu gelap, itulah kenapa aku selalu terlelap. Tidur.

Pagi itu membahagiakan. Saat aku selalu berhasil menjinakkan cermin. Aku lebih berani, karena dia takut menyatakan bahwa aku lelah berpura-pura. Cermin itu mati.

Aku terpaksa terpaku dikelas. Melirik dosen wanita menjelaskan kaitan sabun mandi, konsumerisme dan pemujaan duniawi lainnya. Lamunan tersentak.“Kamu harusnya malu, saya menerangkan apa yang kamu belum tahu. Dan kamu bercanda!” ibu yang selalu bertopeng muda itu mengingatkan seorang mahasiswa. Seketika menunduk, apa dia malu kepada semua orang di dalam kelas atau jatuh cinta kepada meja?

“Hya, aku mencintaimu. Maaf aku mengatakannya, seharusnya aku malu. Tapi memang seperti itu adanya.” Fi mengatakan rangkaian kalimat yang terlalu jauh, dia pikir aku telah mengenalnya sedekat jarak antar bulu matanya.

Aku melirik tatapannya yang beku, lirih. “Aku sedang sedih.”

Mungkin aku bisa menghindari sedihmu,” kalimatnya dingin. Apa dia berpelukan dengan Sinterklaus di laci mejaku?


888

Aku bersua malam. Aku selalu terdewakan. Saat membaca buku, aku merasa orang yang paling pintar. Hanya ada tuhan diatasku.

“Hya, siapa saja yang ada dihatimu? Jangan bilang kalau hanya aku. Ruangan siapa yang paling lapang? Apakah untuk tuhan? Iya kah? Tapi tuhan yang mana yang kamu beri bagian? Bahkan kamu tak pernah membicarakan tuhan dan bagaimana caramu mengingatNya! Apa dia sama dengan tuhanku? Ataukah hatimu dominan untuk orangtuamu? Mereka yang tak sepenuhnya memberikan hatinya untukmu? Mereka yang lebih sering mengecup keningmu lewat e-mail? Ataukah hatimu hanya untukku? Tapi jika iya, aku akan lebih takut.”

Hingga bisa memahami apa arti pesan dari Fi, aku tak paham apa atau siapa yang merasukinya. “Aku tahu, apapun jawabanku, hasilnya takkan berubah.”

“Aku ingin tahu!” sikap yang ia sembunyikan dari oranglain.

“Aku hanya punya satu ruang. Tapi aku punya banyak toples kaca. Ya, satu ruang dalam satu toples. Ikan hias berwarna orange, ikan gigi tajam, ikan yang sedang sakit dan bahkan ikan pembersih kaca berada di ruangan mereka di masing-masing toples. Jika terpisah mereka takkan saling mengganggu.” Aforismeku.

“Maksudnya?”

“Maaf, kamu tak pernah paham bagaimana aku. Aku punya banyak hati, dan bukankah jika seperti itu aku adalah lelaki yang punya rencana? Menempatkan sesuatu dengan benar-benar adil? Isi kepalaku bukan seperti gudang kosong yang terbakar. Fi, mungkin bagimu aku hanyalah lelaki pemalu. Tapi sampai detik ini aku juga manusia yang berpikir.”

“Aku minta maaf,”

“Fi. Mulailah dari yang paling sulit: maafkanlah dirimu!” perbincangan ini sampai terasa begitu pagi. Dingin dan semakna embun. “Bagaimanapun akhirnya, akulah orang yang harus menjawab semua pertanyaan dari pihak lain, orang yang harus menunduk saat berpapasan, orang yang harusnya malu. Di sanalah, cara terakhir lelaki pemalu melindungimu.”

“Hya. Apa semuanya bisa diperbaiki?”

“Lelaki adalah wanita yang tak sempurna, itu kata seorang filsuf. Tapi maaf, aku tak bisa menemukan sudut mana yang harus diperbaiki. Mungkin, Karena dunia ditiup dengan ketidakpastian!”