Tuesday 24 November 2015

Sajak Anti-Serangan Fajar.



3 dino sak durunge pilihan,

Kowe, kowe, lan kowe guya-guyu lewat ngarep omah,


Kowe pancen tanggaku,


Nanging sak durunge, kowe kowe iku mung plengas-plengos ora tau tegur-sopo.


2 dino sak durunge pilihan,


Aku nyawang kowe, kowe malah ngguyu. Kemayu.


Aku wedi,


Tak pikir kowe Homo.


Tapi aku lego, jebule mesemmu kanggo kabeh wargo,


Dengaren sopan, biasane mendam-mendem tanpo aturan.


Sedino sak durunge pilihan,


Kowe nemoni aku neng samping omah,


Tak turuti.


Kowe isih guya-guyu, lha po rupaku lucu?


Kowe ngomong alon banget, koyo mbok batin.


“Sampun gadhah calon pilihan mas?” takonmu sok penting,


Rung tak jawab wis mbok selani, “kula saking tim 1 mas, niki kangge sangu pas milih”


“wheh!”
kowe kaget, nyawang duit 2puluh ewu tak gaplokne ndasmu.


“Pripun to mas? Mboten ngoten niki carane?” kowe ora paham opo sing mbok protes,


Kowe ngewenehi nganggo dalan sing salah, tak balekne lewat dalan sing podo,


Kowe pangeran kerajaan ngendi?


Wani mbayar wargo kanggo millih wong sing ora mbok kenal!


“Nek mboten purun, ngih sampun Mas,” Sampun matamu!


Kowe kok gelem dadi kacung? Saiki penak, sesuk remuk.


Mbok kiro aku ora ndue duit? Pancen ora ndue,


Tapi nek kowe mikir aku goblok, berarti kowe lan bos-mu sing goblok.


Yo uwis, mulih kono. Dadio kacung nganti suk mben kowe nyalon dadi wakil rakyat.


Dino pas pilihan,


Aku nyawang wargo sing mbok wenehi duit, podo seneng. Guya-guyu podo kowe.


Aku nongkrong neng TPS nganti bubar,


Nganti resmi nek bos-mu genah-genah kalah.


Wargo isih guya-guyu. Aku malah guya-guyu,


Mergo nyawang kowe, modar!




...

Buta Politik.


“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya, lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” 
-Bertolt Brecht.

Jika dikaitkan dengan tanggal 9 Desember mendatang (Pilkada 2015), apa yang dikatakan Paman Bertolt tentang buta politik di atas mungkin bisa dijadikan penyemangat atau pembuka mata untuk lebih mengetahui dengan baik calon yang akan menjadi kepala daerah kita masing-masing, lalu pada akhirnya menjauhkan diri dari sikap apatis politik ataupun golput. Namun beda halnya jika kita langsung menengok apa yang dilakukan Setya Novanto, —entah salah atau benar, semua punya hak untuk beropini— pertemuan dengan Donald Trump, lalu kini kasus dugaan pencatutan nama presiden dalam pembicaraan kelanjutan kontrak Freeport yang memasuki babak baru, yaitu masuk pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa membuat rakyat Indonesia sengaja membutakan diri dari politik. Wait and see.

Masih berkaitan dengan Pilkada 2015. Begitu membingungkan untuk menjadi seorang pemilih, kalau tidak memilih disebut apatis, tapi tak jarang juga salah pilih. Saya pribadi sebagai masyarakat daerah kadang merasa tidak memiliki pemimpin daerah, entah saya yang acuh, entah kerja pemimpin daerah yang tak bisa dilihat atau dirasakan, bahkan mungkin karena memang tidak ada hal yang berubah dari tahun sebelumnya ke tahun selanjutnya. Di daerah saya pun, sampai tulisan ini diturunkan, tak ada pengenalan calon yang dilakukan oleh tim sukses atau apapun itu sebutannya, mungkin mereka pikir kami tak perlu tahu atau bahkan mereka menganggap kami terlalu goblok untuk mencerna visi-misi politik. Dan mungkin pada akhirnya mereka lebih percaya dengan recehan Rp. 20.000 untuk menggoda pemilih dari daerah kami agar memilih calon yang hatinya telah mengasingkan diri dari masyarakat.

Memang tak dapat disangkal jika masyarakat masih memiliki teori “bakal milih yang ngasih duit paling banyak”. Hal yang biasa, bahkan mereka menyebutnya rezeki. Faktor ekonomi? Menurut saya tidak hanya itu, faktor busuknya moral calon-calon nakal besar pengaruhnya. Kalau hal itu tidak bisa diperbaiki, ya wakil rakyat atau pemimpin-pemimpin daerah Indonesia Cuma gitu-gitu aja.

Pernah dalam sebuah diskusi, Sudjiwo Tedjo mengatakan bahwa tanda-tanda hilang atau setidaknya berkurangnya korupsi di Indonesia adalah semakin sedikitnya orang-orang yang mencalonkan diri untuk menjadi Presiden, DPR, DPRD, Kepala Daerah, dan pejabat sejenis lainnya. Saya sangat setuju dengan pendapat Presiden Jancukers tersebut, karena gaji yang diperoleh terhitung kecil jika dibandingkan dengan kerjaannya yang sebenarnya berat, membutuhkan tenaga dan pikiran yang total. Kalau niat awalnya kerja seadanya atau menggampangkan ya semua pasti mau mencalonkan diri.

Oke, lihat saja apa yang bisa mereka lakukan. Calon pemimpin daerah yang terlihat sangat bernafsu menjabat. Oh iya, kita lihat juga MKD bisa berbuat apa. Kita lihat, siapa yang telah kehilangan Hati.

Jomblo Honorer.




Jomblo Honorer.

Jomblo Honorer. Tulisan singkat yang didedikasikan untuk dua predikat atau status yang merujuk pada dua aspek penting pada seorang individu. Jomblo dan pegawai honorer. Hati dan Passion.

Jomblo. Jika sebelumnya kalian telah meluangkan waktu untuk membaca artikel-artikel sebelumnya yang berkaitan dengan Jomblo, mungkin tak perlu dipertanyakan lagi mengapa predikat (Jomblo) yang sudah tak asing lagi ini pantas diberi perhatian. Tak pernah main-main dengan hatinya.

Honorer. Dalam kamus yang saya punya, honorer berarti: Not officially confirmed (in o.'s job) and so paid by stipends not salary. Silakan artikan ke dalam bahasa sendiri. Intinya: Berjuang! Karena berasal dari perkuliahan pendidikan, saya selalu salut dan menaruh respect kepada kawan-kawan yang masih setia mencoba konsisten pada janjinya (yang mungkin juga ada di dalam hatinya) untuk tetap mendidik pada kondisi apapun, dimanapun, dalam program apapun, dan bahkan dengan alasan apapun. Saya pikir apa yang mereka lakukan boleh disebut Passion.

Strong and Classy.

Kuat dan berkelas, maaf jika berlebihan tapi itulah dua hal yang terbesit kala melihat sosok Jomblo Honorer (bisa jomblo saja, boleh honorer saja). Saya yakin, menjadi Jomblo atau Honorer memang bukanlah pilihan bagus untuk kebanyakan orang, tapi saya juga yakin bahwa selalu ada orang-orang yang lebih hebat diantara orang hebat lainnya. Seperti berbagai cara orang untuk mencapai puncak gunung, ada yang hanya duduk diam di dalam kapsul yang berjalan pada kabel, dengan helicopter, balon udara dan banyak yang mendaki dengan kaki sendiri untuk lebih meniknati perjalanan, lebih dekat dengan alam, atau karena alasan simple “bersama kawan-kawan” (itulah yang saya lihat di film, karena belum pernah naik gunung). Semuanya juga menikmati perjalanan dan pemandangan, banyak alasan untuk menggunakan cara yang berbeda.

Seperti Jomblo dan Honorer, berusaha kuat mencapai puncak dengan cara yang berkelas. Tetap menunggu walau kemungkinan untuk tidak sampai akan selalu ada. Pantang menyerah sebelum bertanding. Karena mereka tahu, musuh paling berat adalah dirinya sendiri.

Stay Strong and Classy, Buddy!


“The real monster is a Human”
­-Scooby-Doo.



...

Maaf, Kalau Hanya Kamu, Tidaklah Cukup.




Hanya ditemani sore, kita bertemu di depan kostmu. Aku pikir seperti biasa, melihat pemandangan sambil ngobrol film, musik atau kegiatanmu. Ternyata tidak.

“Do you know love?” kau membuka. Sekarang aku tahu kenapa kau memanggilku.


Aku bergegas menghadap ke arah mu. Sedikit menekuk leher ke samping. Kau tahu artinya, menjelaskan sampai jelas.


“Aku menunggu, tapi ini terlalu lama” ha? kau membuatku tambah bingung. Tapi aku kira kau orang paling sabar.


Kau katup-kan wajahmu dengan kedua tangan, harusnya aku sudah lari. Lalu kau ungkit setiap detik yang kita lalui. “Kamu selalu melakukan hal terbaik untukku,” kau juga lupa untuk apa manusia diturunkan, sepertinya.


“Kapan kamu mau bilang Cinta untukku?” pertanyaanmu membuatku lebih baik diam, sebenarnya.


Ah,.


Mungkin kau pikir terlalu banyak waktu yang ku lewatkan. Tapi aku tak pernah bisa mengatakan Aku mencintaimu di tengah penumpang kereta, di tepi pantai, disela-sela konser, atau di dalam sangkar burung di pasar malam yang selalu kau sebut romantis. Bahkan aku tak bisa mengatakannya walaupun hanya kau yang ada di depan mataku. Aku takut. Tapi aku ingin semua orang tahu jika aku sangat mencintaimu, bukan hanya teman-temanmu, lebih dari semua orang yang ada di dunia ini. Aku akan bersama keluargaku, berbondong-bondong menuju ke rumahmu, saat itulah aku berani mengatakan Aku mencintaimu. Mungkin akan membuatmu kaget. Tapi. Maaf, “Aku mencintaimu” adalah milikku yang sangat berharga, kalau hanya kamu yang tahu, tidaklah cukup.


Kau mengusap matamu.


Ah, lagi-lagi. Aku tak paham kenapa kau menangis.



,,,

Thursday 19 November 2015

Aku Cahaya, Dan Kita Begitu Dekat.



Apa kabar kamu? Setelah hampir sebulan aku tidak mengunjungi satu-satunya tempat dimana kita bisa bertemu. Aku sekedar ingin tahu bagaimana keadaanmu di sana tanpa aku. Walaupun aku sudah tau jawabannya, jika kau akan selalu baik-baik saja dengan ada atau tidaknya aku. Seandainya kau tahu, aku di sini tak pernah melewatkan waktu untuk tidak merindukanmu. Merindukan matamu yang terkatup ketika kau tersenyum, merindukan suaramu di akhir diskusi, dan segala hal yang bisa kita lakukan bersama. Apakah kau masih setia berlama-lama membaca majalah-majalah usang itu?

Aku di sini memang merindukanmu. Tapi aku akan kembali. Kembali untuk membuatmu bangga, lalu bertahan disana agar kau bisa melihatku tidak dengan sebelah mata lagi. Kau tahu? mencintaimu itu rasanya sakit. Aku hanya bisa melihatmu tanpa bisa memiliki. Kita hanya berjarak begitu dekat, tapi sebenarnya kau begitu jauh di mataku.

Kau tahu apa yang kusesali sampai hari ini? aku menyesal mengenalmu di organisasi ini, terlebih sebagai atasanku. Karena dengan begitu akan ada batasan yang harus aku ingat. Walaupun jarak umur kita tak jauh berbeda. Kau tetap atasanku yang tak boleh aku miliki, setidaknya itulah kata sejarah orang-orang lama sebelum kita. Tapi aku tidak pernah menyesal karena telah mencintaimu. Aku juga berterima kasih pada Tuhan karena aku bisa mengenalmu.

Kau, yang membuatku bertahan. Semoga kau selalu diberi kekuatan untuk menjalani hari-harimu. Aku juga akan bertahan untuk terus bisa melihatmu tersenyum tanpa harus mengeluh karena sesakit apapun aku, aku akan kuat hanya dengan melihat kau tersenyum. Istirahatlah lebih banyak.

Kita begitu dekat.

Panggil saja aku Cahaya.

Andai Hatimu Ada Dua, Mereka Takkan Panggil Aku Jomblo.



Berjaket hitam. Kau datang dengan wajah muram. Celana panjang loreng hijau khas tentara yang kau kenakan, kini terlihat tak cocok dengan wajahmu yang biasanya terkesan garang. Walau tampak lembut, kau duduk dengan tergesa-gesa. Kau ingin kuras keluhmu padaku. Aku yakin.

“Begini terus, capek” kata pertamamu, kau menatapku seperti ingin dikasihani.

Ku sodorkan sebotol air mineral, kau langsung meneguknya setengah habis, “Makasih, boleh nambah? Besok-besok yang ada rasanya lah”, kau tertawa tersipu. Mengecap bibirmu yang ranum dan mengkilap. Aku jadi tegang, meneguk liur, salah fokus. Maaf.

“Kamu kenapa lagi to Nda?” pasti, kalimat itu yang kamu tunggu.

Lalu berderet kalimat keluh sakitmu kau muntahkan dihadapanku. Aku ikut mual.

Seperti rutinitas, dalam keadaan ini kau selalu datang. Ku ibaratkan kau TV dan aku hanyalah rumah reparasi. Kau datang ketika hanya ingin memperbaiki kondisimu yang jengkel. Kau dengan mudah saja menceritakan tetek bengek kelakuannya yang membuatmu sakit hati.  Sikapnya yang acuh setiap kali kau membutuhkannya, hangatnya yang telah menjadi hal langka untukmu, dan tentang wanita lain yang kau jadikan kantong cemburu. Tapi aku senang, setidaknya ketika itu terjadi, kau akan datang padaku. Karena hanya denganku, kau bisa menceritakan segalanya, semuanya, sampai habis air matamu. Sampai puas pundakku kau sandari. Walaupun aku selalu mengkhawatirkanmu, sekhawatirnya aku dengan minuman bersoda yang sering kau minum. Tapi.. Bukankah rumah reparasi diciptakan untuk membenahi sesuatu yang salah, sesuatu yang rusak?

Sementara Dia, iya, dia yang kau cintai, Dia adalah rumah sebenarnya, tempatmu pulang, melepas lelah seharian. Dia adalah  tempatmu yang kau anggap ternyaman. Melanjutkan cerita yang sempat tertunda. Padaku, seberapapun lamanya kita bersama, aku sadar itu hanya sementara.

Semoga kau belum lupa, kau pernah bertanya, apakah aku sudah punya pasangan? Hah, seharusnya kamu tahu itu. Retoriskah? Atau kamu benar-benar memang tak menangkap sinyal itu? Aku menunggumu, menunggu hatimu kosong. Tapi tidak pernah, kau hanya akan selalu datang ketika kau sedang mangkel karena dia, sedang dilanda sedih, hati meradang seperti sekarang.

“Mungkin cewek-cewek sekarang buta ya, harusnya salah satu dari mereka sudah jadi pasangan kamu. Secara kan, kamu itu istimewa atau unik lebih tepatnya. Andai aja, hatiku ada dua………..” Katamu, dulu, berkoar-koar.

“Kenapa?”

“Akan kubagi untuk kalian berdua.”

Ah Sungguh Eninda, aku bukanlah jomblo. Aku ingin melepas masa jomblo sekarang. Semudah menikmati matamu.

7 Alasan "Putus Cinta" di Indonesia.


Di sini, putus cinta adalah putus hubungan pacar. Bukan patah hati, karena terkadang pacaran itu tidak pernah melibatkan Hati. Werr..

Tulisan ini dibuat berdasarkan pengamatan pada lingkungan sekitar, disertai dengan analisis dangkal. Sekadar hiburan yang mungkin terkandung kebenaran di dalamnya. Sekali lagi, bukan untuk menyindir kalian yang sedang pacaran, bukan memberi referensi teknik memutuskan hubungan untuk kalian yang terjebak ke dalam hati yang asing, dan tulisan ini bukan ditujukan untuk mengingatkan kalian yang pernah diputusin pacar. Jomblo! Ya, tulisan ini saya dedikasikan untuk jomblo yang setia dengan ikrar yang terdengung dalam dinding-dinding hati yang tak dipungkiri semakin rapuh, berbanding lurus dengan pemanasan global. Hikhik.
Semakin tua umur tanah-air ini, semakin banyak pula remaja Indonesia yang menjalankan prosesi pacaran. Entah apapun alasan dalam berpacaran, yang pasti saya yakini adalah semakin banyak yang pacaran semakin banyak yang putus. Bukan bermaksud memandang remeh janji yang kalian ucapkan pada saat nembak atau ungkapan ambigu yang mewarnai setiap malam jelang tidur. Walaupun putus memang sebuah kemungkinan dari beberapa kemungkinan, tapi memang itu adanya. Meletus juga merupakan sebuah kemingkinan, pada balon yang terus ditiupkan udara kedalamnya, tanpa tahu setipis apa balonnya, tanpa paham kapan waktunya berhenti meniup. Dor! Kaget. Mengelus dada.

Kalian akan mengalami Putus setalah menjalani status Pacaran. Maksudnya, kalau tidak pernah pacaran ya tidak akan putus. Jadi, jangan sembarangan panggil orang lain “mantan”, pacaran aja belum Mblo! Dan inilah alasan-alasan pemuda konyol putusin pacar, beserta analisa:

1.    Bapak-Ibu Melarang.

“Maaf ya Mas, sama Ibu Aku engga boleh pacaran. Kita putus ya.”

Karena Orang tua melarang??? Orang tua jenis apa yang mengizinkan anaknya pacaran? Jenis teranyar~

Jika pacar kalian dulu pernah memakai alasan ini, jangan pikir dia adalah anak yang berbakti dan 100% nurut orang tua. Karena lebih tepatnya, dia adalah anak yang telat minta izin kepada orang tuanya. Mungkin, dia waktu sekolah ngasih surat-izin-tidak-masuk-sekolah-karena-sakit pas sudah sehat. Telat dan tidak berguna. Izin itu seperti niat, sesuatu yang ada di awal tetapi mempengaruhi sampai akhir.

2.    Fokus Belajar.

“Kak, ini mungkin engga enak, tapi Adik yakin ini terbaik. Kita masih sekolah. Aku ingin fokus belajar. Masa depan.”

Belajar jadi tidak fokus??? Pacaran di kelas atau pacaran sama papan tulis?

Alasan ini biasa digunakan oleh pelaku yang masih dalam kategori Pelajar. Anak sekolahan menggunakan senjata ini untuk mengusir kakak kelasnya. Pengguna alasan ini kebanyakan adalah pelajar di tahun awal (SMP kelas VII & SMA kelas X) yang takut sama kakak kelas yang juga berperan sebagai pacar. Jadi kalau pacarmu dulu pernah pakai alasan ini, jangan pernah berpikir bahwa pacarmu adalah juara olimpiade nasional atau pemegang rekor sebagai ranking pertama sejak taman kanak-kanak. Karena orang pintar minum tolak angin, bukan minum pacar. Eh.

3.    Aku Enggak Nyaman Pacaran Satu Sekolahan/Kampus/Tempat Kerja/Organisasi.

“Sorry, Aku baru ngerasain ini. Kita putus yah. Aku udah ngga nyaman.”

Tidak nyaman??? Bayi pasti juga ngomong kayak gitu kalau popoknya udah kebanyakan nyimpen pipis.

Beberapa orang menganggap bahwa solusi atas situasi ini adalah keluar atau pindah dari tempat yang sama. Tapi bukan itu. Karena, sebelum ungkapan ini muncul pasti ada ketidaknyamanan atau bahasa jujurnya “kamu begitu mengganggu”. Kemungkinan lainnya adalah pacarmu udah malu pacaran, atau dia melihat ada  eek  yang lebih berkilau.

4.    Aku Enggak Bisa LDR.

“Aku engga bisa jauh-jauh dari Kamu. Kita udahan aja ya. Hatimu masih Aku bawa.”

Tidak bisa berjauhan??? Jadilah bayangan, yang nempel Cuma kakinya, bukan hatinya.

Alasan diatas adalah hal wajar yang diucapkan oleh orang yang menganggap pacarnya sebagai Tukang Ojek (inilah yang sebenarnya disebut “Lebih dari Pacar”). Setia dan penuh manfaat. Antar-jemput sekolah/kampus, delivery makan malam ke kost, antar-jemput pasar, mall, stasiun atau bandara tanpa kepastian setelahnya adalah hal biasa. Kalau terpisah jarak ya terasa kurang, mau kemana-mana bingung. Tapi tenang, sudah banyak Ojek Online yang beroperasi. Eits, tapi bayarnya ya pakai uang, bukan kasih sayang, yang kadang lebih banyak palsunya. Ihiihi.

5.    Kita Kakak-Adik’an Aja.

“Mamas, Aku pengen putus. Aku mau kita Kakak-adik’an aja.”

Kakak-Adik’an aja??? Semena-mena~

Bagi kalian yang mungkin pernah menerima Request menjadi Kakak-Adik, coba pikirkan: kenapa menurut pacarmu kalian pantas menjadi kakak beradik? Kerap mengecup kening sebelum tidur (walaupun lewat messager)? Terlalu sering menyuapinya? Mengganti popok? Hm.. mungkin kalian terlalu memanjakannya. Jika hal ini terlanjur terjadi, pihak lain yang direpotkan adalah orang tua kita, karena mereka harus bolak balik ke kelurahan setempat hanya untuk ngedit kartu keluarga. Sabar Ma, nambah anak, nambah rezeki. Katanya. Aamiin.

6.    Kamu Terlalu Baik.

“Kita udahan aja ya, Kamu itu terlalu baik buat Aku. Kamu pasti dapat yang lebih baik.”

Kamu terlalu baik??? Seburuk apa yang kau minta?

Jika kalian menerima alasan seperti ini, pertama pasti bingung. Mungkin maksudnya agar kamu berpikir bahwa kamu bukanlah pihak yang bersalah, akhirnya diharuskan untuk tabah dan menerima takdir bahkan berbangga hati. Tapi masih membingungkan. Harus berlaku seperti apa? Jahat dosa, baik disalahin. Dan takaran terlalu baik itu sangat samar, mungkin: di jalan nemu duit Rp. 10.000 enggak diambil, tapi malah ditambahi Rp. 100.000,. Kamu Terlalu Baik adalah Kamu membosankan! (versi formal, sopan, dan klasik). Mungkin pacar kamu itu salah didik, kata orang tuanya dulu “nak, kalo udah gede cari pacar jangan yang terlalu baik lah. Copet, begal atau rampok lebih mantab.”

7.    Kamu Jomblo Sih!

“Kita putus!” | “Lhoh emang ada apa?” | “Ternyata selama ini kamu Jomblo!”

Karena kamu Jomblo! Ahhahha. Kamu nafas sih!

Ada apa dengan Jomblo? Haha. Alasan ini adalah alternatif belaka. Hanya digunakan untuk kalian yang telah bosan menggunakan apa yang telah luas beredar. Atau saking enggak ada alasan lainnya untuk putus dengan pacar. Atau kalau sudah bosan pacaran ya jangan banyak alasan. Jomblo aja~


“Wer fliegen lernen will, muss zuerst mit beiden Beiden auf dem Boden stehen.”
“Kalau mau belajar terbang, harus berdiri dulu. Berdiri diatas kaki sendiri.”
-Adolf Hitler.
“Berbahagialah kedua belah pihak. Jangan lupa jaga nama baik.”
-Jomblo Berkarakter Kuat dan Cadas.

Tuesday 3 November 2015

Don't Judge People Just from the Job.



Dilema Cumlaude dan Pegawai Negeri Sipil.

“Mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa Tes.” Petikan judul berita disamping terbukti banyak mengundang tanggapan dari berbagai pihak, terutama mahasiswa dan setidaknya mantan mahasiswa. Beberapa hari lalu, via portal berita online, pemerintah mewacanakan akan mengangkat mahasiswa Cumlaude menjadi PNS tanpa test. Dan karena itulah tulisan ini diturunkan. Menurut saya poin yang menjadikannya laris akan komentar adalah Cumlaude dan PNS. Yap! Cumlaude dan PNS. Faktanya, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kampus lebih sering membicarakan kedua topik tersebut dibandingkan mahasiswa lainnya, mungkin karena kultur diskusi yang telah terbangun. Bukan tanpa sebab, sebagai bocah yang pernah memeluk hangatnya berorganisasi di kampus, saya ingat beberapa kali melakukan perbincangan tentang topik klasik ini. Kalian mungkin juga pernah mendiskusikan predikat Cumlaude dan pekerjaan sebagai PNS namun saya yakin kalian melakukannya dalam waktu yang berbeda. Kini mereka menjadi bahan olokan omongan secara bersamaan.

Cumlaude, menurut saya adalah sebuah prestasi. Namun seperti hal lainnya, banyak pendapat tentang cumlaude yang beredar bebas, khususnya di kampus. Berawal dari pertanyaan pertama: “penting engga sih Cumlaude?” Kembali lagi, menurut saya Cumlaude adalah sebuah prestasi. Prestasi datang dari sebuah perencanaan, tetapi tidaklah mustahil bila prestasi datang tanpa rencana dan persiapan. Pertanyaan balik: “siapa yang mau nolak prestasi?”

Nada sumbang yang terdengung misalnya, “Oh Cumlaude? Kampus-kos-kampus-kos. Cuma mikir kuliah terusss, study oriented sih.” Pertanyaan ini kebanyakan berasal dari mahasiswa pelaku organisasi kampus. Dasar awalnya adalah terkadang belajar itu sesuai kebutuhan. Nah, mungkin mahasiswa yang tidak ikut organisasi kampus tersebut memang secara sadar ingin fokus dan memaksimalkan diri dalam perkuliahan di kelas (bukan berarti mahasisawa pegiat organisasi kampus tidak bisa/ada yang fokus & maksimal), atau mereka telah mendapatkan kebutuhan lainnya* (organisasi dan lainnya) di luar kampus.  Bisa saja. Bisa saja mereka yang biasa dikatakan Study Oriented* (harusnya kuliah ya memang berorientasi belajar) ini lebih berkontribusi terhadap masyarakat dibanding yang terlihat lebih giat ikut organisasi kampus.

PNS. Pegawai Negeri Sipil. Entah salah apa pekerjaan satu ini. Tapi saya masih yakin! Mayoritas orang tua di Indonesia ingin* (enggak masalah/bahagia-bahagia aja) kalau anak atau menantunya menjadi PNS. Dan PNS seperti kalimat pemalu yang selalu enggan keluar dari mulut aktivis kampus/pegiat organisasi kampus ketika ditanya tentang “setelah kuliah mau jadi apa?”. Sungkan dan kekinian. “Mau jadi apa Dek?” | “PNS Mas.” | “Wah, apa engga bosen dek? Kerjaan monoton. Cupu.” Mungkin karena PNS bukanlah pekerjaan ideal bagi organisasi kampus. Organisasi pecinta alam lebih suka dengan anggota yang memiliki cita-cita menjadi Bolang. Wartawan, jelas menjadi primadona senior-senior di organisasi pers kampus, sama seperti halnya politikus, pekerja teater bahkan cita-cita menjadi Uztad menjadi pilihan pertama bagi mahasiswa yang ada di organisasi masing-masing. Bahkan mungkin ada senior di kampus yang lebih kejam akan bilang, “Mau jadi penjilat? Makan gaji buta?”. Hm.. untuk senior, kalau kalian memang selalu membantah atau lebih tepatnya semua orang tidak kalian bolehkan menjadi PNS, ya lebih baik langsung kasih mereka pekerjaan. Jangan seperti dukun abal-abal, Cuma bilang “Jangan kerja di Air.”

How can received.

    “Oh, jadi PNS sekarang? Punya orang dalem yah?”
    “Oh Cumlaude, pantesan dulu deket-deket dosen mulu. Pinter menjilat sih”
    *Saya pernah mendengar pertanyaan seperti itu. Jadi bukan Su’udzon bertingkat (men-su’udzon-i orang yang su’udzon).

Betapa hancurnya perasaan orang-orang yang berusaha dengan jalan yang benar, lalu mendengar pertanyaan tak berdasar seperti itu. Tapi tidak apa-apa, karena rasa iri dan curiga selalu dekat dengan manusia. Coba posisikan diri kita sebagaimana mereka. Ah itu susah sekali. Terkadang sesuatu terkesan terjadi dengan tiba-tiba, padahal Allah Maha Perencana. Pastilah ada proses, setiap proses tidak perlu dipublikasikan, pasti dikira pamer. Duh.

Tiba-tiba di Timeline facebook teman lama telah memakai seragam PNSnya. Ada yang kaget, ada pula yang terinspirasi. Tiba-tiba di acara Wisuda, teman sekelas kita memakai selempang Cumlaude. Tak percaya, ada juga yang ikut senang. “Wah masa kaya dia jadi PNS?”, “Beneran tuh Cumlaude? Perasaan engga pernah baca buku, engga kritis dan kalau debat pun menangan aku.” Pasti selalu ada yang berpikiran seperti itu. *Lalu, apa iya kalau kita melakukan hal buruk seperti yang kita tuduhkan, akan membuat kita mendapatkan hal yang mereka dapatkan? *baca lagi.

Lihat Orang Tuanya.

Jika belum bisa memposisikan diri sendiri sebagai orang yang kita “hakimi”, cobalah melihat orang tuanya. Mereka yang kita judge berusaha membuat bibir bapak-ibunya tersenyum. Karena orang tua orang lain itu juga tetaplah orang tua. Hormatilah. Betapa bahagianya melihat anaknya duduk di barisan paling depan, mengenakan selempang Cumlaude yang matching dengan warna kulitnya. Mungkin hal seperti itu terasa biasa saja bagi sebagian orang, namun untuk orang tua yang berhasil memasukkan anaknya kuliah untuk pertama kali, bahkan untuk orang tua yang baru pertama kali masuk ke kampus. Marvelous! “Ya allah, anakku duduk dibangku paling depan.”

Mungkin ada sebagian orang tua yang melihat pekerjaan menjadi PNS adalah pekerjaan yang biasa saja bahkan menjadi pilihan terakhir. Tetapi beda halnya dengan orang tua yang mungkin hanya bisa melihat tanah air ini dari televisi di ruang keluarga, melihat anaknya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil. Terkadang mereka tidak pernah melihat berapa besarnya gaji* (hal yang selalu menjadi perdebatan untuk oranglain) yang diterima anaknya setelah menjadi PNS. “Terimakasih ya Allah, engkau titipkan kebahagiaan dan kebanggaan lewat anak kami satu-satunya. Dia begitu bersemangat melayani masyarakat. Membela Negara dengan caranya, dengan rencanamu.”

Berlaku Adil.

Apakah manusia bisa adil? Adil adalah kata yang mudah diucapkan, namun begitu sukar dilakukan. Kita bebas berkata bahwa satu atau beberapa hal termasuk tidak adil. Memang banyak hal menurut kita tidak adil, walaupun sekadar pandangan mata. Dalam kasus “Mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa Tes,” banyak orang yang berkomentar “Ah tidak adil!,” “Emang Cumlaude udah pasti bagus?,” sampai “Ah apalah PNS! Kerjaan apa.” Yakinlah, Allah menurunkan masing-masing manusia untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Memberi manfaat kepada lingkungan dan manusia lainnya sesuai peran dan kadar yang pastinya tak sama.

Mungkin memang ada PNS yang kerja biasa saja, tidak kreatif, dan bahkan makan gaji buta. Tapi apakah sebuah hal yang mustahil jika ada PNS yang tetap menjalankan amanah dengan baik. Bisa jadi apa yang kita sangkakan kepada mereka telah mengganggu kinerja mereka, sampai akhirnya kita lah yang membuat mereka tidak kreatif dan makan gaji buta. Pernah berpikir seperti itu? Lebih baik menjadi PNS dengan kontribusi kecil (padahal sudah maksimal), daripada menjadi pengusaha yang hanya memperkaya diri, bahkan asing bagi lingkungan dan masyarakatnya. *Meskipun memang banyak pengusaha yang mengabdi kepada masyarakat dan lingkungannya. Lebih baik menjadi PNS dengan label negatif (walaupun sebenarnya selalu menjaga diri), daripada menjadi wartawan bodong yang menjadikan pemerasan sebagai kesibukan utama. *Walaupun pasti lebih banyak wartawan yang setia menjadikan profesinya selalu bersifat profetik. Memang membandingkan hal seperti ini bukanlah hal yang adil. Kacau.

“Tidak adil jika mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa tes!.” Apakah yang kita pikirkan tentang Cumlaude dan PNS bisa dikatakan adil?

Adil hanyalah mitos! Mungkin.


*Tulisan ini dirajut oleh anak yang ingin mencicipi semua profesi. Melakukan semua hal yang diinginkan. Kasihan. Kekinian.
...

Saturday 31 October 2015

JOMBLO: SURGA YANG TAK DIRINDUKAN



Booming.

Video seorang wanita bercadar hitam yang memamerkan rangkaian kalimat dalam beberapa lembar kertas, berisikan Curahan Hatinya yang sempat terpoligami. Dalam salah satu lembar kertas, mbak-mbak Ukhti* (kebiasaan kalau nyebut wanita berjilbab gede) itu menuliskan kalimat yang intinya “saya tidak menyalahkan hukum allah yang memperbolehkan pria berpoligami.” Jadi menurut mbaknya, poligami adalah surga yang tak dirindukan. Bagiku, poligami adalah perdebatan klasik. Saat di kampus sampai di kampung, “kebijakan” poligami ini kerap jadi penghubung diskusi.

Supporters ataupun Hatters dari poligami ini dalam beberapa kesempatan pasti menarik opini mereka dari Al Qur’an* (Kitab) atau kisah sejarah. Kata Supporters: “di Al Qur’an ada”,  “disunahkan”,  “itu agar manusia belajar adil”, ”Nabi Muhammad aja poligami.” Kebanyakan pendukung dari Lelaki* (lingkup temanku). Lalu kata pihak Perempuan penolak: “ih jangan pelajari Al qur’an sepotong-potong!”, “pernah mikir seandainya kamu perempuan itu?”, “Dasar cowok! Kita putus*!!” (untuk yang punya pacar). Hmm.. saranku, tanyalah pada orang yang kamu percayai, Ibu-bapakmu, kakakmu, atau ustadz yang kamu yakini belajar dengan baik. Saya sih No! Nabi Muhammad melakukannya setelah usia 50, untuk memerdekakan dan menjaga istri sahabat yang ditinggal gugur perang. Nabi melakukannya atas dasar kemanusiaan, nah anak zaman sekarang kebanyakan melakukan hal-hal enteng saja dengan nafsu* (Opiniku). Dan masih ada lho, sunah lainnya yang bisa kamu lakukan, banyak. Eh, yang wajib udah?

Jomblo: Surga yang tak dirindukan.

Anda tidak salah membaca judul tulisan ini. Sebagai pembela dan pemerhati Jomblo, saya ingin memberi pengertian bahwa kawan-kawan jomblo seperjuangan setanah-air ini mengidap status Jomblo bukan semata-mata karena Tidak laku* (astagfirullah), terjangkit PHP atau penderita Tikungunya. Namun sebagian dari Jomblo Nusantara dengan teguh dan yakin memilih jalan kebenaran ini untuk menyongsong surga yang dijanjikan. Seperti yang diketahui, Populasi besar yang menyebar di tanah air ini juga mengakui jika bukanlah hal mudah untuk mempertahankan ideologi* ini (pemikiran mending jomblo sebelum ada yang saling menghalalkan) ada rintangan besar disana. Labelisasi Tuna Asmara dari masyarakat, disindir waktu ditengah keramaian (nonton konser, stand up comedy, halal bihalal, reuni, sampai arisan karang-taruna), sampai diboncengi setan karena saking seringnya naik motor sendirian. Kasihan.

Apakah tidak ada wanita yang merasa “kurang” setelah terpoligami meskipun mereka tahu itu jalan surga? Hm.. Pertanyaan yang lebih mudah, Apakah Jomblo pernah merasa “aneh” meskipun telah memilih untuk Jomblo? Masih susah? Tanya kawanmu yang Jomblo!

Mungkin kami hanya bisa bertahan dan menghindar. Bukan bertahan dari omongan masyarakat atau label jomblo lainnya saja, tapi bertahan pada konsistensi ideologi yang menurut kami positif. Menghindar dari ancaman nafsu yang merusak, atau meminimalisir kemungkinan buruk lainnya. Tak seperti Poligami, mungkin Jomblo diatur oleh Tuhan dan tertulis di Kitab dengan bahasa yang berbeda* (mungkin mengisyaratkan bahwa Jomblo harus lebih pintar, baca Mblo!). Jomblo juga berpikir!

Tak  apa. Kami selalu kuat. Buktinya Jomblo semakin banyak. Semakin menggeliat. Pepatah mengatakan: Surga memiliki perjalanan yang berat, sedangkan menuju neraka selalu menggoda sampai garis baik-buruk dan batas boleh-jangan begitu tipis hingga tak terlihat.

    Pride of Jomblo.

    Mungkin beberapa orang menganggap bahwa “Kebanggaan menjadi Jomblo” adalah sebuah topeng kepalsuan yang setia menghibur, menyembunyikan kesedihan akan rasa sepi di tempat paling aman. Tidak! Karena kaum Jomblo selalu berpikir realistis dari hal dekat nan sederhana. Tak perlu muluk-muluk berpikir tentang pasangan kekasih yang belum terikat nikah memiliki kemungkinan khilaf untuk berbuat yang tidak-tidak; cium pipi-kening* (Bapak-ibu boleh. Emang kamu pamannya?) padahal cuma teman; menebar ungkapan ambigu sebelum tidur, lalu sadar tengah berada dalam ruang ketidakpastian yang begitu sesak. Kekinian. Berjam-jam pergi ke perpustakaan berduaan tanpa membaca buku (mungkin membaca pikiran, atau garis tangan); haha-hehe diatas motor; habis kuliah mampir ke kamar pacarnya (pulang sana, ibu sudah masak). Ini sebuah pilihan, memang bisa dibuat lebih positif. Tapi, kami pilih Tidak. Berpikirlah sedernaha, kami tidak mau membuang waktu anda. Meskipun itu hanya sebuah  kemungkinan.

*Komitmen Jomblo kami jaga atas nama agama, orangtua, keluarga besar, kawan seperjuangan serta para pahlawan yang telah gugur untuk memerdekakan tanah ini. Jomblo juga berjuang! [Insyaallah.]

Jangan apa-apa demi Surga, kalihatan engga Ikhlas! Surga urusan Tuhan, buatlah Tuhan & lingkunganmu tersenyum.” -Ibu
Anak yang pacaran itu termasuk kegagalan Orangtua, mas.” -Seorang gadis yang telah menutup Payungnya.
“Merdeka & Penjajahan tak melulu secara fisik. Tapi Mindset.” -Pahlawan Imajiner.

Sunday 25 October 2015

Pak Presiden, Hari Jomblo Nasional Dong!



Memenuhi salah satu janjinya sewaktu masih kampanye, Presiden Republik Indonesia—Jokowi—akhirnya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional. Dalam pidatonya, presiden menjelaskan bahwa penetapan tersebut dimaksudkan sebagai tanda terimakasih atas kontribusi para santri dalam usaha memerdekakan bangsa.

Seperti biasa, sebelum dan setelah ditetapkannya Hari Santri Nasional, banyak pro-kontra yang bermunculan. Para santri kebanyakan mendukung keputusan tersebut, hal itu bisa dilihat dari antusias mereka dalam mengikuti kirab atau syukuran peringatan hari santri nasional. Pihak yang menyayangkan keputusan presiden tersebut, mayoritas memiliki opini yang serupa, yaitu penetapan hari santri nasional seakan memberikan kesan bahwa ada sekat yang terdapat di masyarakat Indonesia.

Bagi kaum Jomblo, yang dikenal sebagai kritikus ulung, bukanlah sebuah kekecewaan yang timbul setelah penetapan hari santri nasional, namun rasa iri-lah yang akhirnya meluap. Rasa iri hadir karena kaum Jomblo semakin merasa terasingkan, merasa tidak diakui keberadaannya, diacuhkan, dipandang sebelah mata,

Sebagai jomblo, kami pantas cemburu. Intinya kami ingin para jomblo diberi hal yang sama. Hari Jomblo Nasional. Inilah sebab yang kami jadikan dasar:

1.    Populasi.

Kami percaya bahwa mayoritas penduduk republik ini adalah Muslim, dan kami tidak mempermasalahkan hal itu. Hal tersebut yang menyebabkan opini “adanya sekat antar masyarakat” muncul. Nah, tuntutan kami agar presiden membuat kebijakan hari jomblo nasional bukan tanpa sebab, karena keberadaan kaum jomblo ini sangatlah merata. Faktanya, dipandang dari aspek apapun selalu ada jomblo yang terdeteksi. Dari agama apapun, suku manapun, umur, jenis kelamin, sampai orientasi seks pasti ada Jomblo yang masih setia menunjukkan eksistensinya. Sabang sampai merauke, kota sampai desa, jomblo pasti ada. Tanpa peduli apapun jomblo tetap ada. Jomblo juga Indonesia.

Apalagi di zaman yang sudah tak karuan ini, populasi jomblo semakin menjamur karena budaya patah hati yang semakin mengakar. Bayangkan, anak kelas 3 SD pun kini sudah melabelkan dirinya sebagai kaum Jomblo. Hal itulah yang merusak citra Jomblo di mata masyarakat. Apapun yang melandasi orang-orang untuk menyebut dirinya Jomblo. Positif atau negative yang mereka lakukan, kami selalu bergandengan. Karena jomblo tetaplah jomblo.

Kami akan tetap ada dan berlipat ganda. Meskipun selalu sendiri di rumah dan ditikam sepi, kami tak akan mati. Kami takkan pernah hilang. Jomblo selalu menuntut, camkan!

2.    Kontribusi.

Yakin kalau enggak ada jomblo yang ikut angkat bambu runcing sebelum tanah ini merdeka? Kami selalu ada!

Mungkin berkat jasa-jasa Jomblo ini Pak presiden bisa melenggang ke istana. Banyak relawan bapak yang berpredikat Jomblo yang turun ke jalan. Ada yang benar-benar total mendukung, pasti ada juga yang sok menyibukkan diri agar tak terjebak masa lalu dan menghidarkan sosial media mereka dari bunyi “krik-krik

Namun, sangatlah angkuh dan terkesan terlalu cepat menarik kesimpulan jika ada dari kalian yang mengatakan bahwa “jomblo itu masyarakat tanpa kontribusi”. Pertama, jomblo tidak pernah sombong (lagian apa yang disombongkan? hehe) akan kontribusi apa untuk Negara. Karena jomblo selalu melakukan sesuatu dengan Hati* (*Hati yang kosong) jadi bisa begitu fokus pada proses tanpa peduli apa kata orang. Lihatlah lebih dekat dikampus-kampus, selalu terdapat skill-skill menonjol dari beberapa mahasiswa yang setelah ditelusuri kebanyakan dari mereka tergabung dalam jomblo Indonesia tanpa ikatan. Lebih dekat lagi ke organisasi mahasiswa, jomblo pegiat seni & teater yang tanpa lelah dan peduli waktu untuk latihan, jomblo pecinta alam yang mempersunting bumi Indonesia, dan jomblo pers mahasiswa selalu memberontak tanpa ucapan selamat pagi dari kekasih hati.

Jomblo itu bebas, maka jomblo itu fokus. Ribet jika kau ingin menghidupi seni dan budaya sementara pacar membuatmu tak berdaya. Berat jika kau ingin melestarikan nusantara dan naik gunung sementara asmara tanpa jelas membuatmu hilang arah sampai bingung. Susah jika kau ingin berdiskusi dan melawan sementara orang lain yang bernama Cinta mendebatmu agar tetap tampil menawan.

Jadi, jomblo tak hanya berkontribusi, tapi juga berkarya. Dan yang pasti, berjuang.

*Berdasarkan riset dari Day!nstitute, Jomblo yang konsisten dengan kejombloannya memiliki potensi untuk lebih fokus dari golongan lainnya (Pacaran, longdistance, friendzone, pengidap virus PHP & Tikungunya).

Monday 19 October 2015

Jika Aku Pencuri


Aku ingin mencuri Tanah dari Hujan, agar kau bisa dengan mudah memahami bahwa aku ingin kau cemburu.
Aku ingin kau seperti Tanah, yang bermanfaat walau sedang menunggu, yang tetap menunggu meski Hujan tidak datang. Dinginku berhak menjadi pelukmu, jika rindumu setenang itu.

Aku ingin mencuri Hujan dari Tanah.
Lagi-lagi ku tampakkan mendungku, aku ingin kau lebih cemburu. Aku selalu suka Hujan. Aku ingin kau selalu berjuang, tak peduli jumlah kau tuang. Lembut walau tampak tergesa-gesa, tak peduli apakah Tanah masih menunggu. Kau selalu datang.

Aku ingin mencuri Gerbong kereta yang kita naiki.
Aku ingin kau ingat. Sepasang kita menanti di kursi kayu, melirik arah datang hal kokoh yang kita tak pernah tahu. Tersentak tanpa teriak, kita dan mereka beranjak. Tujuan yang sama, tanpa tahu bagaimana akhirnya. Tapi maknanya, dari awal kita memilihnya.

Aku ingin mencuri Boneka yang kau peluk.
Aku ingin kau tahu. Kau punya hati yang lebih lembut, tutur dan janji yang lebih rapi dari jahitan yang ada di kucing putih itu. Ia tidak memikirkanmu, menginggatmu, dan bahkan ia tak pernah bisa memelukmu. Tapi, kau selalu melakukannya.

Oh jika aku pencuri…

Aku ingin mencuri Cerita yang kau tulis.
Kini aku yang cemburu. Selain sujud dan dinginnya mimpi, ialah yang sering merenggut tengah malammu.  Mengulanginya, hapus kesalahan yang terkuak. Menyadarkan setiap kata, tanpa teruap. Kau melakukannya.

Aku ingin mencuri Ibumu.
Ia selalu membuatmu lebih teduh. Diselipkan hujan dalam do’a yang terkirim padamu walaupun kau tak pernah memintanya.

Aku ingin mencuri Ayahmu.
Ia selalu membuatmu lebih kuat. Bagimu, lengannya adalah rumah. Satu kecupan darinya, kau akan menjadi seperti ibumu.

Mungkin jika aku pencuri…

Aku ingin mencuri Senyumanmu.
Bukannya aku tak ingin kau tersenyum. Tapi kau tak pernah tahu apa yang terjadi ketika kau tersenyum. Leherku terputar mengiyakan mataku mencari hal sejuk itu, lidahku tergigit agar aku tak tertangkap basah mengikutimu tersenyum dan hatiku terasa tertinggal di dalam tubuh boneka yang kau peluk.

Aku mencuri Hatiku sendiri, agar kupastikan ia tak bisa mencintai siapapun lagi.
Dengan caraku sendiri, aku menyembunyikannya dengan tanah sekuat lengan Ayahmu, percik hujan seteduh do’a ibumu, dan dengan pelukan yang tak terlepas, dibawah bangku di gerbong kereta yang kita naiki…

Jika aku pencuri, maka aku akan mencuri.

Jika aku punya cinta, maka aku mencintaimu.

...

Tuesday 24 March 2015

Lelaki Pemalu





 

Senja akan segera berlalu, seorang lelaki melintas menyimpan malu. Aku.

Aku pulang. Setelah berjam-jam melakukan rencana yang hampir selalu meleset. Lalu menuju kamar, setelah melakukan ritual makan malam bersama keluarga yang selalu menyibukkan diri. Tersita tatapanku kepada buku yang belum habis terbaca, halaman 117: “Satu-satunya kenikmatan sejati di dunia ini adalah untuk menyaksikan segala sesuatu ‘berbalik’ menjadi bencana, untuk akhirnya keluar dari determinasi dan indeterminasi, dari peluang dan keniscayaan, dan memasuki kenyataan tentang keterkaitan yang memusingkan dimana, suka atau tidak suka, segala sesuatu sampai pada akhirnya tanpa melalui cara-caranya, dimana kejadian-kejadian menghasilkan efek tanpa melalui penyebabnya.” Oh, persetan Jean Baudrillard. Semangat berkenalan dengan konsep reversibilitas lemah menguap. Ruang mendadak senyap, saat seolah terbisik kalimat dari lorong laci meja belajar: “Karena dunia ditiup dengan ketidakpastian!” Sejenak dingin, apakah Sinterklaus salah alamat? Mimpiku selalu gelap, itulah kenapa aku selalu terlelap. Tidur.

Pagi itu membahagiakan. Saat aku selalu berhasil menjinakkan cermin. Aku lebih berani, karena dia takut menyatakan bahwa aku lelah berpura-pura. Cermin itu mati.

Aku terpaksa terpaku dikelas. Melirik dosen wanita menjelaskan kaitan sabun mandi, konsumerisme dan pemujaan duniawi lainnya. Lamunan tersentak.“Kamu harusnya malu, saya menerangkan apa yang kamu belum tahu. Dan kamu bercanda!” ibu yang selalu bertopeng muda itu mengingatkan seorang mahasiswa. Seketika menunduk, apa dia malu kepada semua orang di dalam kelas atau jatuh cinta kepada meja?

“Hya, aku mencintaimu. Maaf aku mengatakannya, seharusnya aku malu. Tapi memang seperti itu adanya.” Fi mengatakan rangkaian kalimat yang terlalu jauh, dia pikir aku telah mengenalnya sedekat jarak antar bulu matanya.

Aku melirik tatapannya yang beku, lirih. “Aku sedang sedih.”

Mungkin aku bisa menghindari sedihmu,” kalimatnya dingin. Apa dia berpelukan dengan Sinterklaus di laci mejaku?


888

Aku bersua malam. Aku selalu terdewakan. Saat membaca buku, aku merasa orang yang paling pintar. Hanya ada tuhan diatasku.

“Hya, siapa saja yang ada dihatimu? Jangan bilang kalau hanya aku. Ruangan siapa yang paling lapang? Apakah untuk tuhan? Iya kah? Tapi tuhan yang mana yang kamu beri bagian? Bahkan kamu tak pernah membicarakan tuhan dan bagaimana caramu mengingatNya! Apa dia sama dengan tuhanku? Ataukah hatimu dominan untuk orangtuamu? Mereka yang tak sepenuhnya memberikan hatinya untukmu? Mereka yang lebih sering mengecup keningmu lewat e-mail? Ataukah hatimu hanya untukku? Tapi jika iya, aku akan lebih takut.”

Hingga bisa memahami apa arti pesan dari Fi, aku tak paham apa atau siapa yang merasukinya. “Aku tahu, apapun jawabanku, hasilnya takkan berubah.”

“Aku ingin tahu!” sikap yang ia sembunyikan dari oranglain.

“Aku hanya punya satu ruang. Tapi aku punya banyak toples kaca. Ya, satu ruang dalam satu toples. Ikan hias berwarna orange, ikan gigi tajam, ikan yang sedang sakit dan bahkan ikan pembersih kaca berada di ruangan mereka di masing-masing toples. Jika terpisah mereka takkan saling mengganggu.” Aforismeku.

“Maksudnya?”

“Maaf, kamu tak pernah paham bagaimana aku. Aku punya banyak hati, dan bukankah jika seperti itu aku adalah lelaki yang punya rencana? Menempatkan sesuatu dengan benar-benar adil? Isi kepalaku bukan seperti gudang kosong yang terbakar. Fi, mungkin bagimu aku hanyalah lelaki pemalu. Tapi sampai detik ini aku juga manusia yang berpikir.”

“Aku minta maaf,”

“Fi. Mulailah dari yang paling sulit: maafkanlah dirimu!” perbincangan ini sampai terasa begitu pagi. Dingin dan semakna embun. “Bagaimanapun akhirnya, akulah orang yang harus menjawab semua pertanyaan dari pihak lain, orang yang harus menunduk saat berpapasan, orang yang harusnya malu. Di sanalah, cara terakhir lelaki pemalu melindungimu.”

“Hya. Apa semuanya bisa diperbaiki?”

“Lelaki adalah wanita yang tak sempurna, itu kata seorang filsuf. Tapi maaf, aku tak bisa menemukan sudut mana yang harus diperbaiki. Mungkin, Karena dunia ditiup dengan ketidakpastian!”