Monday 30 January 2012

SEPARUH YANG TERAMBIL


Selasa sore, terkepung rintik hujan di plataran SD, kami bermain sepakbola.
“Ayo! Oper! Tendang!” teriak mereka.
Seperti biasa aku dijadikan keeper yang tugasnya memungut bola trus harus lemparnya lagi. Setidaknya sebutan keeper lebih keren dan sedikit lebih terhormat daripada “kacung”. Tak terlalu sibuk, jadi aku punya cukup banyak waktu untuk mengenang dan menghayati semua ini. Bola menuju ke arahku, karna sapuan kaki kiri Dyan. Dugh!!. Agak kaget, dan langsung kudekap layaknya Romeo memeluk Jaenap, eh Juliette maksudnya.
“Hoy! Oper ke Aku” gertak semua anggota tim.
Jadi sangat bingung mau ku oper kemana si plastik bulat dekil ini. Tanpa pikir pendek, ku lempar bola ini kearah Adli yang tengah melambaikan tangan dengan mulut menganga di depan gawang lawan, sedang keeper lawan memegangi pinggul Adli.
“Main bola atau mau nari salsa tuh? Mesra amat” pikirku dalam hati dengan sedikit kebimbangan.
“Nyoooh!” mantap ku.
“Siip Pus!” sambut Adli.
Pus?. Ya, Lupus adalah nama tenarku di masa itu, mungkin teman-temanku terinspirasi dari sinetron Lupus kala itu. Lupus dalam tontonan itu setahuku adalah sesosok pria tampan yang pintar membuat balon dari permen karetnya, yak cukup itu saja yang ku tahu. Apa memang karna aku ganteng, atau merupakan sindiran untukku yang sampai saat ini belum bisa membuat balon dari permen karet. Dan aku bingung, apakah itu sebuah aib??. Tak jadi masalah buat ku, untuk memperdebatkan nama sapaan yang telah dibebankan oleh sahabat-sahabatku di masa itu, yang jadi masalah adalah menemukan tempat kursus membuat permen karet melendung, ah sudahlah.
“Hey udah lumayan sore nih, pulang yok?!” pinta Usenawan.
“Ayo!” balas Aidan.
“Sekarang? Yaudah, jangan lupa bolanya dibawa, kan kemarin ketinggalan” sahut Dyan.
“Eh tadi skornya berapa ya?” aku bertanya.
“Yang penting kita menang Pus! Kan kamu enggak kebobol” jawab Adli.
Semua berjalan kaki untuk pulang. Berbincang, tertawa selama perjalanan. Tak ada kata-kata dendam yang penuh emosi, yang ada hanyalah kepuasan bermain dan satu lagi, bau keringat kami yang terlalu menyengat seperti ompol bayi gorilla yang hanya mandi ketika lebaran, terbayangkah?.
Dan sampailah aku dirumah, sedangkan yang lain masih harus berjalan beberapa meter lagi untuk sampai ke rumah masing-masing. Begitu menyenangkan, mungkin kalo bisa dikembangkan aktivitas seperti itu akan menjadi obat awet muda yang sangat mujarab. Masuklah aku kedalam halaman samping rumah sambil menenteng sendal merk Bata punyaku, maklum itu adalah sandal lebaranku jadi kutenteng kemana-mana. Kubuka pintu samping dekat dapur dan kamar mandi. Slash! Tercium oleh hidung mungilku ini masakan Mama, yaitu pepes ikan + daun kedondong.
“Baru pulang Pus!” sapa mamaku.
“Iya Ma” jawabku, sedikit kaget dan mengigil karna hujan.
“Cepet mandi trus makan malam!” perintah Bapak, sambil memindah chanel TV, sepertinya acara Family 100.
“Oke, sebentar” jawabku lagi, sambil mencari kebutuhan mandi seperti shampoo clear, handuk dan raket tennis. Eh yang terakhir kayaknya enggak perlu deh.
Biarr..! Biurr..!, suara air menggertak sore itu. Aku cukup bahagia di dalam kamar mandi. Aku juga cengar-cengir di dalam bilik merenung itu. Mungkin jika benar ada setan di dalam kamar mandi, aku sangat yakin setan itu pasti akan ketakutan melihat cengiranku yang sensual ini. Dan aku menggenggam sabun yang tengah-tengahnya terdapat lubang akibat ulah adikku si Rezza yang sangat terobsesi dengan judul iklan kala itu, yaitu “Temukan hadiah langsung didalamnya”, iya benar! Dia mengoreki sabunnya. Aku juga dinasehati oleh Mama untuk tidak berharap lebih kepada sang air dan sabun dalam misinya membuat ganteng atau minimal mempercerah wajah, saat itu aku enggak tahu apa maksudnya, tapi sekarang aku baru sadar bahwa itu adalah semangat untuk anaknya agar lebih giat berdoa kepada tuhan, Lhoh?!