Kata seorang
temanku, aku adalah individu yang memiliki tipe pengamat. Menurutku, “pengamat”
merupakan aspek yang wajib ada dalam
diri kita sebagai makhluk sosial, ini tak pernah ada di pelajaran Sekolah
Dasar. Jika “mengamati” termasuk ke dalam “tipe”, berarti keberadaannya menjadi
sangat fleksibel. Bisa ada, boleh tidak. Karena mengamati sejatinya adalah
melatih daya pikir dan kepekaan. Sebagian temanku juga menyebutku sebagai orang
yang sinis dalam berkata dan dalam memberikan komentar. Aku berbicara terhadap
apa yang aku lihat dan pikirkan. Pengamat harus obyektif, tetapi subyek tetap
menjadi variabel yang sangat penting.
Tak kalah penting adalah tak pernah ada niat untuk menyakiti siapapun dengan
cara apapun, apalagi dengan lisan ini. Sorry.
Aku
mengabadikan tulisan ini (Menulis untuk keabadian, -Kata teman di keluarga
organisasi yang aku ikuti. Jadi sekarang aku tak pernah menulis tulisan, tapi
mengabadikannya) atas hasil pengamatan dasar yang sudah aku lakukan. Mengunakan
“Akal dan Penginderaan”, dengan
lincah aku membuat kesimpulan. Walaupun pemikir seharusnya tidak boleh
cepat-cepat mempercayai dan mengambil kesimpulan, bahkan menjadikan kesimpulan
sebagai tujuan. Haram!
Setiap kali
aku melakukan perjalanan dari rumah menuju kampus, dan dari kampus menuju
rumah, banyak hal yang tertangkap oleh indera dan terperangkap oleh akal.
Persawahan, perumahan, minimarket, pasar, orang gila, bahkan orang yang
berpura-pura gila. Banyak. Obyek kali ini adalah Rumah. Tak pernah sesederhana
yang dipikirkan oleh kaum sinis, kaum yang “dilahirkan” oleh Anthisthenes, Di
Athena pada 400 SM. Mungkin mereka menganggap bahwa rumah adalah sampah atau
hal yang tak berguna lainnya. Bagaimana
dengan daur ulang sampah? Hehe. Karena kaum Sinis memiliki idealisme yang
dengan teguh mereka genggam, mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak
terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik,
atau bahkan kesehatan yang baik. Kebahagiaan
sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan
mengambang. Dan karena kebahagiaan tidak terletak pada
keuntungan-keuntungan semacam ini, semua orang dapat meraihnya. Lebih-lebih,
begitu berhasil diraih, ia tidak akan pernah lepas lagi. Finaaaaaaaaaaaly, aku
juga setuju dengan Kaum Sinis.
Tapiii, “Rumah”
disini bukan sebatas bangunan fisik, bukan tentang kemewahan yang diterapkan
untuk menunjang darajat seseorang ataupun aspek pengubah nilai pandang terhadap
kedudukan seseorang. Kaitannya dengan keluarga internal. Rumah identik dengan
kebahagiaan, tempat berkumandangnya canda-tawa, tangis bahagia, celotehan dan
kehangatan perbincangan kasih sayang. Rumah adalah tempat yang dituju
orang-orang dewasa yang mulai letih karena pekerjaan, jalan bagi anak-anak
untuk melanjutkan mimpi mereka kemarin malam. Rumah adalah kedua orang tua,
orang tua adalah rumah. Dimana hari biasa menjadi tak biasa.
Adakah kaitan
Rumah dengan lingkungan?
Nah, kembali
lagi ke cerita. Ada sebuah rumah di sebuah desa, bukan desaku. Kumpulan tembok
beratap itu terletak di pinggir jalan dan rel kereta api, memiliki tetangga
dengan rumah tentunya. Rumah yang tak jauh dengan sawah itu tampak seperti
biasanya, walaupun memang biasa-biasa saja. Berpagar tembok tinggi dan berpintu
gerbang geser berbahan besi hitam yang jarang terbuka. “Rumah siapa itu?” tak
pernah terpikirkan pertanyaan itu. Aku kira itu adalah rumah kosong,
dikosongkan, atau bangunan yang belum laku terjual. Hingga suatu malam terlihat
seseorang dengan motor memasuki halaman rumah itu, tentunya dengan melewati
pintu gebang itu. Dia hanya membuka bagian kecil dari gerbang yang tampak tegar
itu, mungkin hanya selebar ukuran motornya. Apakah dibalik gerbang itu adalah
halaman rumah? Mungkin bisa saja langsung kolam renang yang luasnya seperti
halaman. Haha aku tak pernah tahu. Hari-hari selanjutnya tak ada yang berubah
dari rumah itu, bedanya adalah tidak ada orang yang masuk lagi, setidaknya aku
tidak tahu. Sangatlah mencolok ketika aku juga mengamati rumah dan lingkungan
sosial di sekitarnya, atmosfer interaksi lingkungan sekitarnya sangat kuat.
Banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang berbincang pada sore hari, mingkin
membicarakan kelanjutan bangsa ataupun sekadar menggosip. Ada juga pemuda yang
berkumpul nongkrong di bengkel sebelah kiri rumah itu, ataupun duduk di depan
rumah. Tak ada aktivitas seperti itu dari rumah atau anggota rumah itu.
Adakah
orangnya? Kenapa tidak membaur? Apa orang baru? Apa orang aneh?
Suatu sore aku
melihat mobil dengan mesranya berparkir di depan gerbang, kemudian gerbang
terbuka dan mobil silver pun masuk dengan lancar. Mungkinkah mobil berjalan
sendiri? mungkinkah gerbang itu terbuka secara otomatis? Rumah itu berpenghuni.
Mungkin saja penghuni disana adalah orang yang sangat loyal dan total dengan
pekerjaannya, pekerja keras dan sibuk. Mungkin juga mereka adalah orang baru di
lingkungan yang sangat baru sehingga sukar untuk membiasakan diri dengan pola
yang sudah membudaya. Semoga mereka mencoba untuk beradaptasi ataupun minimal
mencoba cara untuk membaur. Kalau tidak, berarti mereka adalah orang-orang yang
aneh. Lebih tepatnya memiliki dunia sendiri. Itu lebih baik daripada menganggap
bahwa lingkungan sekitarnya adalah lingkungan yang tidak baik untuk diiukuti
ataupun merasa tidak pantas berkumpul dan berserikat dengan lingkungan. Semua
orang bisa berubah, aku juga begitu.
Sudah banyak
bukti, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kita tahu bahwa sistem “perumahan”
pada masyarakat kita semakin lama semakin mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan,
karena kita seperti hidup sendirian, bekerja sendiri dan tanpa peduli. Misalnya
saja perumahan elit, keluar rumah bekerja, selesai kerja masuk rumah lagi,
mall, makan, mall, masuk rumah, keluar rumah kerja, mampir makan di mall. Dan
seterusnya. Perumahan seperti itu bisa menjadi sarang teroris dan mungkin
sasaran empuk para koruptor tak bergelar yaitu maling, hehe.. Masyarakat akan
hilang.
Kenapa aku
menulis ini?
Sebab pertama
tentu saja kritik terhadap luntur dan hilangnya nilai-nilai penting kehidupan
dari dalam diri (nihilisme), tentang proses dan progres interaksi sosial. Hal
lainnya adalah belum lama ini anggota keluarga dari rumah itu meninggal dunia.
Sangatlah mencolok karena gerbang hitam yang tegar itu beberapa hari terbuka,
karena tidak tahan membendung banyaknya rangkaian bunga berukuran jumbo yang
sedang turut berduka. Parade bunga itu sampai berdesak-desakan memenuhi halaman
rumah yang ternyata memang halaman rumah, tak ada kolam renang disana. Dan
terlihat masyarakat sekitar tidak ada yang datang untuk sekadar mengucapkan
turut berduka. Bahkan sepertinya jumlah rangkaian bunga lebih banyak daripada
orang-orang yang ada di tempat itu. Sama sepinya seperti hari biasanya. Dua
hari sesudahnya halaman itu bersih dari bunga-bunga yang bersih, dan gerbang
pun terbuka penuh. Terlihat ada satu mobil di dalam, dan seorang laki-laki
duduk di pinggir teras sambil bermain air dan memandikan tanaman hijau berbunga
dengan air yang dialirkan oleh selang.
rumah yang tidak membaur siapakah itu? :)
ReplyDeleteRumah orang... hehe
ReplyDelete