Thursday 26 December 2013

Rumah yang Tak Ramah


Kata seorang temanku, aku adalah individu yang memiliki tipe pengamat. Menurutku, “pengamat” merupakan aspek yang wajib ada dalam diri kita sebagai makhluk sosial, ini tak pernah ada di pelajaran Sekolah Dasar. Jika “mengamati” termasuk ke dalam “tipe”, berarti keberadaannya menjadi sangat fleksibel. Bisa ada, boleh tidak. Karena mengamati sejatinya adalah melatih daya pikir dan kepekaan. Sebagian temanku juga menyebutku sebagai orang yang sinis dalam berkata dan dalam memberikan komentar. Aku berbicara terhadap apa yang aku lihat dan pikirkan. Pengamat harus obyektif, tetapi subyek tetap menjadi  variabel yang sangat penting. Tak kalah penting adalah tak pernah ada niat untuk menyakiti siapapun dengan cara apapun, apalagi dengan lisan ini. Sorry.
Aku mengabadikan tulisan ini (Menulis untuk keabadian, -Kata teman di keluarga organisasi yang aku ikuti. Jadi sekarang aku tak pernah menulis tulisan, tapi mengabadikannya) atas hasil pengamatan dasar yang sudah aku lakukan. Mengunakan “Akal dan Penginderaan”, dengan lincah aku membuat kesimpulan. Walaupun pemikir seharusnya tidak boleh cepat-cepat mempercayai dan mengambil kesimpulan, bahkan menjadikan kesimpulan sebagai tujuan. Haram!

Setiap kali aku melakukan perjalanan dari rumah menuju kampus, dan dari kampus menuju rumah, banyak hal yang tertangkap oleh indera dan terperangkap oleh akal. Persawahan, perumahan, minimarket, pasar, orang gila, bahkan orang yang berpura-pura gila. Banyak. Obyek kali ini adalah Rumah. Tak pernah sesederhana yang dipikirkan oleh kaum sinis, kaum yang “dilahirkan” oleh Anthisthenes, Di Athena pada 400 SM. Mungkin mereka menganggap bahwa rumah adalah sampah atau hal yang tak berguna lainnya. Bagaimana dengan daur ulang sampah? Hehe. Karena kaum Sinis memiliki idealisme yang dengan teguh mereka genggam, mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati tidak terdapat dalam kelebihan lahiriah seperti kemewahan materi, kekuasaan politik, atau bahkan kesehatan yang baik. Kebahagiaan sejati terletak pada ketidaktergantungan pada segala sesuatu yang acak dan mengambang. Dan karena kebahagiaan tidak terletak pada keuntungan-keuntungan semacam ini, semua orang dapat meraihnya. Lebih-lebih, begitu berhasil diraih, ia tidak akan pernah lepas lagi. Finaaaaaaaaaaaly, aku juga setuju dengan Kaum Sinis.
Tapiii, “Rumah” disini bukan sebatas bangunan fisik, bukan tentang kemewahan yang diterapkan untuk menunjang darajat seseorang ataupun aspek pengubah nilai pandang terhadap kedudukan seseorang. Kaitannya dengan keluarga internal. Rumah identik dengan kebahagiaan, tempat berkumandangnya canda-tawa, tangis bahagia, celotehan dan kehangatan perbincangan kasih sayang. Rumah adalah tempat yang dituju orang-orang dewasa yang mulai letih karena pekerjaan, jalan bagi anak-anak untuk melanjutkan mimpi mereka kemarin malam. Rumah adalah kedua orang tua, orang tua adalah rumah. Dimana hari biasa menjadi tak biasa.
Adakah kaitan Rumah dengan lingkungan?
Nah, kembali lagi ke cerita. Ada sebuah rumah di sebuah desa, bukan desaku. Kumpulan tembok beratap itu terletak di pinggir jalan dan rel kereta api, memiliki tetangga dengan rumah tentunya. Rumah yang tak jauh dengan sawah itu tampak seperti biasanya, walaupun memang biasa-biasa saja. Berpagar tembok tinggi dan berpintu gerbang geser berbahan besi hitam yang jarang terbuka. “Rumah siapa itu?” tak pernah terpikirkan pertanyaan itu. Aku kira itu adalah rumah kosong, dikosongkan, atau bangunan yang belum laku terjual. Hingga suatu malam terlihat seseorang dengan motor memasuki halaman rumah itu, tentunya dengan melewati pintu gebang itu. Dia hanya membuka bagian kecil dari gerbang yang tampak tegar itu, mungkin hanya selebar ukuran motornya. Apakah dibalik gerbang itu adalah halaman rumah? Mungkin bisa saja langsung kolam renang yang luasnya seperti halaman. Haha aku tak pernah tahu. Hari-hari selanjutnya tak ada yang berubah dari rumah itu, bedanya adalah tidak ada orang yang masuk lagi, setidaknya aku tidak tahu. Sangatlah mencolok ketika aku juga mengamati rumah dan lingkungan sosial di sekitarnya, atmosfer interaksi lingkungan sekitarnya sangat kuat. Banyak ibu-ibu dan bapak-bapak yang berbincang pada sore hari, mingkin membicarakan kelanjutan bangsa ataupun sekadar menggosip. Ada juga pemuda yang berkumpul nongkrong di bengkel sebelah kiri rumah itu, ataupun duduk di depan rumah. Tak ada aktivitas seperti itu dari rumah atau anggota rumah itu.
Adakah orangnya? Kenapa tidak membaur? Apa orang baru? Apa orang aneh?
Suatu sore aku melihat mobil dengan mesranya berparkir di depan gerbang, kemudian gerbang terbuka dan mobil silver pun masuk dengan lancar. Mungkinkah mobil berjalan sendiri? mungkinkah gerbang itu terbuka secara otomatis? Rumah itu berpenghuni. Mungkin saja penghuni disana adalah orang yang sangat loyal dan total dengan pekerjaannya, pekerja keras dan sibuk. Mungkin juga mereka adalah orang baru di lingkungan yang sangat baru sehingga sukar untuk membiasakan diri dengan pola yang sudah membudaya. Semoga mereka mencoba untuk beradaptasi ataupun minimal mencoba cara untuk membaur. Kalau tidak, berarti mereka adalah orang-orang yang aneh. Lebih tepatnya memiliki dunia sendiri. Itu lebih baik daripada menganggap bahwa lingkungan sekitarnya adalah lingkungan yang tidak baik untuk diiukuti ataupun merasa tidak pantas berkumpul dan berserikat dengan lingkungan. Semua orang bisa berubah, aku juga begitu.
Sudah banyak bukti, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Kita tahu bahwa sistem “perumahan” pada masyarakat kita semakin lama semakin mengkhawatirkan. Mengkhawatirkan, karena kita seperti hidup sendirian, bekerja sendiri dan tanpa peduli. Misalnya saja perumahan elit, keluar rumah bekerja, selesai kerja masuk rumah lagi, mall, makan, mall, masuk rumah, keluar rumah kerja, mampir makan di mall. Dan seterusnya. Perumahan seperti itu bisa menjadi sarang teroris dan mungkin sasaran empuk para koruptor tak bergelar yaitu maling, hehe.. Masyarakat akan hilang.
Kenapa aku menulis ini?
Sebab pertama tentu saja kritik terhadap luntur dan hilangnya nilai-nilai penting kehidupan dari dalam diri (nihilisme), tentang proses dan progres interaksi sosial. Hal lainnya adalah belum lama ini anggota keluarga dari rumah itu meninggal dunia. Sangatlah mencolok karena gerbang hitam yang tegar itu beberapa hari terbuka, karena tidak tahan membendung banyaknya rangkaian bunga berukuran jumbo yang sedang turut berduka. Parade bunga itu sampai berdesak-desakan memenuhi halaman rumah yang ternyata memang halaman rumah, tak ada kolam renang disana. Dan terlihat masyarakat sekitar tidak ada yang datang untuk sekadar mengucapkan turut berduka. Bahkan sepertinya jumlah rangkaian bunga lebih banyak daripada orang-orang yang ada di tempat itu. Sama sepinya seperti hari biasanya. Dua hari sesudahnya halaman itu bersih dari bunga-bunga yang bersih, dan gerbang pun terbuka penuh. Terlihat ada satu mobil di dalam, dan seorang laki-laki duduk di pinggir teras sambil bermain air dan memandikan tanaman hijau berbunga dengan air yang dialirkan oleh selang.
Categories:

2 comments: