Saturday 31 October 2015

JOMBLO: SURGA YANG TAK DIRINDUKAN



Booming.

Video seorang wanita bercadar hitam yang memamerkan rangkaian kalimat dalam beberapa lembar kertas, berisikan Curahan Hatinya yang sempat terpoligami. Dalam salah satu lembar kertas, mbak-mbak Ukhti* (kebiasaan kalau nyebut wanita berjilbab gede) itu menuliskan kalimat yang intinya “saya tidak menyalahkan hukum allah yang memperbolehkan pria berpoligami.” Jadi menurut mbaknya, poligami adalah surga yang tak dirindukan. Bagiku, poligami adalah perdebatan klasik. Saat di kampus sampai di kampung, “kebijakan” poligami ini kerap jadi penghubung diskusi.

Supporters ataupun Hatters dari poligami ini dalam beberapa kesempatan pasti menarik opini mereka dari Al Qur’an* (Kitab) atau kisah sejarah. Kata Supporters: “di Al Qur’an ada”,  “disunahkan”,  “itu agar manusia belajar adil”, ”Nabi Muhammad aja poligami.” Kebanyakan pendukung dari Lelaki* (lingkup temanku). Lalu kata pihak Perempuan penolak: “ih jangan pelajari Al qur’an sepotong-potong!”, “pernah mikir seandainya kamu perempuan itu?”, “Dasar cowok! Kita putus*!!” (untuk yang punya pacar). Hmm.. saranku, tanyalah pada orang yang kamu percayai, Ibu-bapakmu, kakakmu, atau ustadz yang kamu yakini belajar dengan baik. Saya sih No! Nabi Muhammad melakukannya setelah usia 50, untuk memerdekakan dan menjaga istri sahabat yang ditinggal gugur perang. Nabi melakukannya atas dasar kemanusiaan, nah anak zaman sekarang kebanyakan melakukan hal-hal enteng saja dengan nafsu* (Opiniku). Dan masih ada lho, sunah lainnya yang bisa kamu lakukan, banyak. Eh, yang wajib udah?

Jomblo: Surga yang tak dirindukan.

Anda tidak salah membaca judul tulisan ini. Sebagai pembela dan pemerhati Jomblo, saya ingin memberi pengertian bahwa kawan-kawan jomblo seperjuangan setanah-air ini mengidap status Jomblo bukan semata-mata karena Tidak laku* (astagfirullah), terjangkit PHP atau penderita Tikungunya. Namun sebagian dari Jomblo Nusantara dengan teguh dan yakin memilih jalan kebenaran ini untuk menyongsong surga yang dijanjikan. Seperti yang diketahui, Populasi besar yang menyebar di tanah air ini juga mengakui jika bukanlah hal mudah untuk mempertahankan ideologi* ini (pemikiran mending jomblo sebelum ada yang saling menghalalkan) ada rintangan besar disana. Labelisasi Tuna Asmara dari masyarakat, disindir waktu ditengah keramaian (nonton konser, stand up comedy, halal bihalal, reuni, sampai arisan karang-taruna), sampai diboncengi setan karena saking seringnya naik motor sendirian. Kasihan.

Apakah tidak ada wanita yang merasa “kurang” setelah terpoligami meskipun mereka tahu itu jalan surga? Hm.. Pertanyaan yang lebih mudah, Apakah Jomblo pernah merasa “aneh” meskipun telah memilih untuk Jomblo? Masih susah? Tanya kawanmu yang Jomblo!

Mungkin kami hanya bisa bertahan dan menghindar. Bukan bertahan dari omongan masyarakat atau label jomblo lainnya saja, tapi bertahan pada konsistensi ideologi yang menurut kami positif. Menghindar dari ancaman nafsu yang merusak, atau meminimalisir kemungkinan buruk lainnya. Tak seperti Poligami, mungkin Jomblo diatur oleh Tuhan dan tertulis di Kitab dengan bahasa yang berbeda* (mungkin mengisyaratkan bahwa Jomblo harus lebih pintar, baca Mblo!). Jomblo juga berpikir!

Tak  apa. Kami selalu kuat. Buktinya Jomblo semakin banyak. Semakin menggeliat. Pepatah mengatakan: Surga memiliki perjalanan yang berat, sedangkan menuju neraka selalu menggoda sampai garis baik-buruk dan batas boleh-jangan begitu tipis hingga tak terlihat.

    Pride of Jomblo.

    Mungkin beberapa orang menganggap bahwa “Kebanggaan menjadi Jomblo” adalah sebuah topeng kepalsuan yang setia menghibur, menyembunyikan kesedihan akan rasa sepi di tempat paling aman. Tidak! Karena kaum Jomblo selalu berpikir realistis dari hal dekat nan sederhana. Tak perlu muluk-muluk berpikir tentang pasangan kekasih yang belum terikat nikah memiliki kemungkinan khilaf untuk berbuat yang tidak-tidak; cium pipi-kening* (Bapak-ibu boleh. Emang kamu pamannya?) padahal cuma teman; menebar ungkapan ambigu sebelum tidur, lalu sadar tengah berada dalam ruang ketidakpastian yang begitu sesak. Kekinian. Berjam-jam pergi ke perpustakaan berduaan tanpa membaca buku (mungkin membaca pikiran, atau garis tangan); haha-hehe diatas motor; habis kuliah mampir ke kamar pacarnya (pulang sana, ibu sudah masak). Ini sebuah pilihan, memang bisa dibuat lebih positif. Tapi, kami pilih Tidak. Berpikirlah sedernaha, kami tidak mau membuang waktu anda. Meskipun itu hanya sebuah  kemungkinan.

*Komitmen Jomblo kami jaga atas nama agama, orangtua, keluarga besar, kawan seperjuangan serta para pahlawan yang telah gugur untuk memerdekakan tanah ini. Jomblo juga berjuang! [Insyaallah.]

Jangan apa-apa demi Surga, kalihatan engga Ikhlas! Surga urusan Tuhan, buatlah Tuhan & lingkunganmu tersenyum.” -Ibu
Anak yang pacaran itu termasuk kegagalan Orangtua, mas.” -Seorang gadis yang telah menutup Payungnya.
“Merdeka & Penjajahan tak melulu secara fisik. Tapi Mindset.” -Pahlawan Imajiner.

Sunday 25 October 2015

Pak Presiden, Hari Jomblo Nasional Dong!



Memenuhi salah satu janjinya sewaktu masih kampanye, Presiden Republik Indonesia—Jokowi—akhirnya menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri nasional. Dalam pidatonya, presiden menjelaskan bahwa penetapan tersebut dimaksudkan sebagai tanda terimakasih atas kontribusi para santri dalam usaha memerdekakan bangsa.

Seperti biasa, sebelum dan setelah ditetapkannya Hari Santri Nasional, banyak pro-kontra yang bermunculan. Para santri kebanyakan mendukung keputusan tersebut, hal itu bisa dilihat dari antusias mereka dalam mengikuti kirab atau syukuran peringatan hari santri nasional. Pihak yang menyayangkan keputusan presiden tersebut, mayoritas memiliki opini yang serupa, yaitu penetapan hari santri nasional seakan memberikan kesan bahwa ada sekat yang terdapat di masyarakat Indonesia.

Bagi kaum Jomblo, yang dikenal sebagai kritikus ulung, bukanlah sebuah kekecewaan yang timbul setelah penetapan hari santri nasional, namun rasa iri-lah yang akhirnya meluap. Rasa iri hadir karena kaum Jomblo semakin merasa terasingkan, merasa tidak diakui keberadaannya, diacuhkan, dipandang sebelah mata,

Sebagai jomblo, kami pantas cemburu. Intinya kami ingin para jomblo diberi hal yang sama. Hari Jomblo Nasional. Inilah sebab yang kami jadikan dasar:

1.    Populasi.

Kami percaya bahwa mayoritas penduduk republik ini adalah Muslim, dan kami tidak mempermasalahkan hal itu. Hal tersebut yang menyebabkan opini “adanya sekat antar masyarakat” muncul. Nah, tuntutan kami agar presiden membuat kebijakan hari jomblo nasional bukan tanpa sebab, karena keberadaan kaum jomblo ini sangatlah merata. Faktanya, dipandang dari aspek apapun selalu ada jomblo yang terdeteksi. Dari agama apapun, suku manapun, umur, jenis kelamin, sampai orientasi seks pasti ada Jomblo yang masih setia menunjukkan eksistensinya. Sabang sampai merauke, kota sampai desa, jomblo pasti ada. Tanpa peduli apapun jomblo tetap ada. Jomblo juga Indonesia.

Apalagi di zaman yang sudah tak karuan ini, populasi jomblo semakin menjamur karena budaya patah hati yang semakin mengakar. Bayangkan, anak kelas 3 SD pun kini sudah melabelkan dirinya sebagai kaum Jomblo. Hal itulah yang merusak citra Jomblo di mata masyarakat. Apapun yang melandasi orang-orang untuk menyebut dirinya Jomblo. Positif atau negative yang mereka lakukan, kami selalu bergandengan. Karena jomblo tetaplah jomblo.

Kami akan tetap ada dan berlipat ganda. Meskipun selalu sendiri di rumah dan ditikam sepi, kami tak akan mati. Kami takkan pernah hilang. Jomblo selalu menuntut, camkan!

2.    Kontribusi.

Yakin kalau enggak ada jomblo yang ikut angkat bambu runcing sebelum tanah ini merdeka? Kami selalu ada!

Mungkin berkat jasa-jasa Jomblo ini Pak presiden bisa melenggang ke istana. Banyak relawan bapak yang berpredikat Jomblo yang turun ke jalan. Ada yang benar-benar total mendukung, pasti ada juga yang sok menyibukkan diri agar tak terjebak masa lalu dan menghidarkan sosial media mereka dari bunyi “krik-krik

Namun, sangatlah angkuh dan terkesan terlalu cepat menarik kesimpulan jika ada dari kalian yang mengatakan bahwa “jomblo itu masyarakat tanpa kontribusi”. Pertama, jomblo tidak pernah sombong (lagian apa yang disombongkan? hehe) akan kontribusi apa untuk Negara. Karena jomblo selalu melakukan sesuatu dengan Hati* (*Hati yang kosong) jadi bisa begitu fokus pada proses tanpa peduli apa kata orang. Lihatlah lebih dekat dikampus-kampus, selalu terdapat skill-skill menonjol dari beberapa mahasiswa yang setelah ditelusuri kebanyakan dari mereka tergabung dalam jomblo Indonesia tanpa ikatan. Lebih dekat lagi ke organisasi mahasiswa, jomblo pegiat seni & teater yang tanpa lelah dan peduli waktu untuk latihan, jomblo pecinta alam yang mempersunting bumi Indonesia, dan jomblo pers mahasiswa selalu memberontak tanpa ucapan selamat pagi dari kekasih hati.

Jomblo itu bebas, maka jomblo itu fokus. Ribet jika kau ingin menghidupi seni dan budaya sementara pacar membuatmu tak berdaya. Berat jika kau ingin melestarikan nusantara dan naik gunung sementara asmara tanpa jelas membuatmu hilang arah sampai bingung. Susah jika kau ingin berdiskusi dan melawan sementara orang lain yang bernama Cinta mendebatmu agar tetap tampil menawan.

Jadi, jomblo tak hanya berkontribusi, tapi juga berkarya. Dan yang pasti, berjuang.

*Berdasarkan riset dari Day!nstitute, Jomblo yang konsisten dengan kejombloannya memiliki potensi untuk lebih fokus dari golongan lainnya (Pacaran, longdistance, friendzone, pengidap virus PHP & Tikungunya).

Monday 19 October 2015

Jika Aku Pencuri


Aku ingin mencuri Tanah dari Hujan, agar kau bisa dengan mudah memahami bahwa aku ingin kau cemburu.
Aku ingin kau seperti Tanah, yang bermanfaat walau sedang menunggu, yang tetap menunggu meski Hujan tidak datang. Dinginku berhak menjadi pelukmu, jika rindumu setenang itu.

Aku ingin mencuri Hujan dari Tanah.
Lagi-lagi ku tampakkan mendungku, aku ingin kau lebih cemburu. Aku selalu suka Hujan. Aku ingin kau selalu berjuang, tak peduli jumlah kau tuang. Lembut walau tampak tergesa-gesa, tak peduli apakah Tanah masih menunggu. Kau selalu datang.

Aku ingin mencuri Gerbong kereta yang kita naiki.
Aku ingin kau ingat. Sepasang kita menanti di kursi kayu, melirik arah datang hal kokoh yang kita tak pernah tahu. Tersentak tanpa teriak, kita dan mereka beranjak. Tujuan yang sama, tanpa tahu bagaimana akhirnya. Tapi maknanya, dari awal kita memilihnya.

Aku ingin mencuri Boneka yang kau peluk.
Aku ingin kau tahu. Kau punya hati yang lebih lembut, tutur dan janji yang lebih rapi dari jahitan yang ada di kucing putih itu. Ia tidak memikirkanmu, menginggatmu, dan bahkan ia tak pernah bisa memelukmu. Tapi, kau selalu melakukannya.

Oh jika aku pencuri…

Aku ingin mencuri Cerita yang kau tulis.
Kini aku yang cemburu. Selain sujud dan dinginnya mimpi, ialah yang sering merenggut tengah malammu.  Mengulanginya, hapus kesalahan yang terkuak. Menyadarkan setiap kata, tanpa teruap. Kau melakukannya.

Aku ingin mencuri Ibumu.
Ia selalu membuatmu lebih teduh. Diselipkan hujan dalam do’a yang terkirim padamu walaupun kau tak pernah memintanya.

Aku ingin mencuri Ayahmu.
Ia selalu membuatmu lebih kuat. Bagimu, lengannya adalah rumah. Satu kecupan darinya, kau akan menjadi seperti ibumu.

Mungkin jika aku pencuri…

Aku ingin mencuri Senyumanmu.
Bukannya aku tak ingin kau tersenyum. Tapi kau tak pernah tahu apa yang terjadi ketika kau tersenyum. Leherku terputar mengiyakan mataku mencari hal sejuk itu, lidahku tergigit agar aku tak tertangkap basah mengikutimu tersenyum dan hatiku terasa tertinggal di dalam tubuh boneka yang kau peluk.

Aku mencuri Hatiku sendiri, agar kupastikan ia tak bisa mencintai siapapun lagi.
Dengan caraku sendiri, aku menyembunyikannya dengan tanah sekuat lengan Ayahmu, percik hujan seteduh do’a ibumu, dan dengan pelukan yang tak terlepas, dibawah bangku di gerbong kereta yang kita naiki…

Jika aku pencuri, maka aku akan mencuri.

Jika aku punya cinta, maka aku mencintaimu.

...