Selasa sore, terkepung rintik hujan di plataran SD, kami bermain sepakbola.
“Ayo! Oper! Tendang!” teriak mereka.
Seperti biasa aku dijadikan keeper yang tugasnya memungut bola trus harus lemparnya lagi. Setidaknya sebutan keeper lebih keren dan sedikit lebih terhormat daripada “kacung”. Tak terlalu sibuk, jadi aku punya cukup banyak waktu untuk mengenang dan menghayati semua ini. Bola menuju ke arahku, karna sapuan kaki kiri Dyan. Dugh!!. Agak kaget, dan langsung kudekap layaknya Romeo memeluk Jaenap, eh Juliette maksudnya.
“Hoy! Oper ke Aku” gertak semua anggota tim.
Jadi sangat bingung mau ku oper kemana si plastik bulat dekil ini. Tanpa pikir pendek, ku lempar bola ini kearah Adli yang tengah melambaikan tangan dengan mulut menganga di depan gawang lawan, sedang keeper lawan memegangi pinggul Adli.
“Main bola atau mau nari salsa tuh? Mesra amat” pikirku dalam hati dengan sedikit kebimbangan.
“Nyoooh!” mantap ku.
“Siip Pus!” sambut Adli.
Pus?. Ya, Lupus adalah nama tenarku di masa itu, mungkin teman-temanku terinspirasi dari sinetron Lupus kala itu. Lupus dalam tontonan itu setahuku adalah sesosok pria tampan yang pintar membuat balon dari permen karetnya, yak cukup itu saja yang ku tahu. Apa memang karna aku ganteng, atau merupakan sindiran untukku yang sampai saat ini belum bisa membuat balon dari permen karet. Dan aku bingung, apakah itu sebuah aib??. Tak jadi masalah buat ku, untuk memperdebatkan nama sapaan yang telah dibebankan oleh sahabat-sahabatku di masa itu, yang jadi masalah adalah menemukan tempat kursus membuat permen karet melendung, ah sudahlah.
“Hey udah lumayan sore nih, pulang yok?!” pinta Usenawan.
“Ayo!” balas Aidan.
“Sekarang? Yaudah, jangan lupa bolanya dibawa, kan kemarin ketinggalan” sahut Dyan.
“Eh tadi skornya berapa ya?” aku bertanya.
“Yang penting kita menang Pus! Kan kamu enggak kebobol” jawab Adli.
Semua berjalan kaki untuk pulang. Berbincang, tertawa selama perjalanan. Tak ada kata-kata dendam yang penuh emosi, yang ada hanyalah kepuasan bermain dan satu lagi, bau keringat kami yang terlalu menyengat seperti ompol bayi gorilla yang hanya mandi ketika lebaran, terbayangkah?.
Dan sampailah aku dirumah, sedangkan yang lain masih harus berjalan beberapa meter lagi untuk sampai ke rumah masing-masing. Begitu menyenangkan, mungkin kalo bisa dikembangkan aktivitas seperti itu akan menjadi obat awet muda yang sangat mujarab. Masuklah aku kedalam halaman samping rumah sambil menenteng sendal merk Bata punyaku, maklum itu adalah sandal lebaranku jadi kutenteng kemana-mana. Kubuka pintu samping dekat dapur dan kamar mandi. Slash! Tercium oleh hidung mungilku ini masakan Mama, yaitu pepes ikan + daun kedondong.
“Baru pulang Pus!” sapa mamaku.
“Iya Ma” jawabku, sedikit kaget dan mengigil karna hujan.
“Cepet mandi trus makan malam!” perintah Bapak, sambil memindah chanel TV, sepertinya acara Family 100.
“Oke, sebentar” jawabku lagi, sambil mencari kebutuhan mandi seperti shampoo clear, handuk dan raket tennis. Eh yang terakhir kayaknya enggak perlu deh.
Biarr..! Biurr..!, suara air menggertak sore itu. Aku cukup bahagia di dalam kamar mandi. Aku juga cengar-cengir di dalam bilik merenung itu. Mungkin jika benar ada setan di dalam kamar mandi, aku sangat yakin setan itu pasti akan ketakutan melihat cengiranku yang sensual ini. Dan aku menggenggam sabun yang tengah-tengahnya terdapat lubang akibat ulah adikku si Rezza yang sangat terobsesi dengan judul iklan kala itu, yaitu “Temukan hadiah langsung didalamnya”, iya benar! Dia mengoreki sabunnya. Aku juga dinasehati oleh Mama untuk tidak berharap lebih kepada sang air dan sabun dalam misinya membuat ganteng atau minimal mempercerah wajah, saat itu aku enggak tahu apa maksudnya, tapi sekarang aku baru sadar bahwa itu adalah semangat untuk anaknya agar lebih giat berdoa kepada tuhan, Lhoh?!
Seminggu kemudian
Sebenarnya tidak hanya Adli dan Aidan yang merupakan sahabatku, banyak sahabat istimewa yang kupunya, seperti Dyan, Usenawan, Fajar, Ricky, Hery dan yang lain. Yang mampu menghabiskan tinta pulpen jika kuceritakan semua. Tanpa ada maksud membedakan, tapi kupikir ini adalah waktunya Adli dan Aidan agar semakin bernafas dan tersenyum tanpa peduli apa penyebabnya. Adli adalah saudara kembar (Kakak) dari Aidan (Adik). Jika dilihat dari fisik mereka sangat tidak identik, hal yang menyamakan keduanya adalah sifat baik dan bau mulut mereka. Mungkin bila ada bayi yang tidak sengaja mencium bau mulut Adli dan Aidan, maka dapat dipastikan bayi malang itu akan menangis, muntah-muntah dan insomnia selama 3 hari 2 malam, yakin!. Tapi jika ada bayi yang sengaja menciumnya dan ibu bayi itu menghendaki aktivitas tersebut, yah itung-itung terapi belerang lah, atau mungkin ibu bayi itu adalah ibu yang mengalami dekadensi mental hehe. Intinya disini akan tersaji sepenggal kisah tentang Adli dan Aidan yang pesan moralnya akan berbeda-beda tergantung pandangan orang yang menikmatinya, dengan kata lain multi-perspektif.
Sore hari ditengah perjalanan pulangku dari potong rambut, aku di sapa oleh ibu Adli/Aidan. Dengan menatapku yang tertetesi air hujan dan melambaikan tangannya, akupun mendatanginya. Sudah seperti ibu sendiri, dan aku mengobrol dengan enjoy.
“Dek Yudha!” beliau menyapaku dengan nama asli.
“Iya budhe” jawabku dengan cukup sopan.
Dengan mengerutkan dahinya, beliau mempersilakan aku duduk. Dan aku duduk dikursi yang sepertinya hasil desain bapakku. Beliau tertawa kecil, apakah menertawakan rambutku? Atau karna telah membeli tas berdiskon? Atau apa ya? Aku anggap saja beliau sangat bahagia bertemu denganku. Tapi nampaknya terdapat sedikit kesedihan di dalam senyuman itu, bagiku sangat membingungkan mirip senyuman dalam lukisan Mona Lisa.
“Temanmu sakit Yudh, si Aidan” Ibu Adli/Aidan berkata dengan lirih.
“Oh, tadi itu dari rumah sakit ya?” Tanyaku dengan polos.
“Iya, kalo main jangan nakal-nakalan ya” Jawabnya dengan meneteskan air mata.
“Ibuuu..” terdengar suara ayah Aidan yang memanggil ibu.
Tanpa permisi ibu Aidan masuk ke dalam rumah, dan aku pun juga tanpa permisi meninggalkan beranda rumah Aidan. Aku berjalan pulang menuju rumahku Alhamdulillah rintikan hujan telah reda. Dengan pikiran yang sedikit bingung, “Aidan sakit dan ibunya menangis” dua kejadian yang membuatku menggaruk-garuk rambutku yang baru. Sambil menatap pelangi yang ada di atas kepala, aku merencanakan akan bertanya kepada Mamaku dirumah yang biasa menjadi lahan curhat Ibu Aidan.
“Assalamualaikum! Aku pulang!” ku teriakkan kalimat yang sejak kecil terbiasa terucap ketika akan masuk rumah.
“Wa’alaikumsalam!” jawab Mamaku tersayang dan Adikku terkucel, serentak.
“Cie, kompak. Hehe..” ejekku sambil menyilakkan rambutku.
“Udah pulang Pus, kamu Lupus bukan??” Tanya Mamaku.
“Iyaa.. Ini Lupus Ma! Enggak ada arwah siapapun yang pinjem raga ini” jawabku sedikit kecewa.
“Mas, Mas..!” teriak adikku sambil menggerakkan gunting ke leher bonekanya.
“Apaa, apa?” jawabku dengan pasrah.
“Habis potong rambut mas jadi keren” jelas adikku.
“Hmm emang, kayak siapa?” tanyaku dengan membusungkan dada, tapi tetep ada rasa curiga.
“Mirip Jerry Yan yang habis ketauan nyopet, trus dikeroyok massa sampe bonyok. Hahkahwahwka..” ejeknya sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Keselek, keselek yuk. Keselek gunting yo, keselek gunting” doaku dalam hati.
“Udah-udah. Makan dulu Pus, dari siang kan kamu belum makan” Perintah Mama.
Karena aku anak yang cukup berbakti, aku pun menuruti perintah Mama, yaitu makan. Ketika aku menghayati perkataan adikku yang tengil tadi, mulai tersadar akan rencanaku bertanya ke Mama tentang Aidan dan Ibunya. Aku mulai mendekat ke kursi yang Mama duduki, lalu aku mulai mencoba bertanya. Tentunya ketika tidak ada adikku Si Rezza “the killjoys” julukan yang aku berikan kepadanya.
“Mama..” sapaku dengan lumayan merdu.
“Hoe!!!!” jawabnya mirip suara screamer yang ada di band-band metal.
“Mau nanya ma..” jelasku.
“Soal Aidan kan?” tebak Mamaku sambil melirik ke arahku. Sepertinya ia sudah tahu banyak tentang hal apa yang menimpa Aidan saat ini.
“Iya Ma! Aidan kenapa Ma?” tanyaku dengan penasaran dan semangat yang berlebihan.
“Aidan itu lagi sakit Pus” penjelasan singkat Mamaku.
“Sakit apa Ma? Kok ibunya sampe nangis gitu. Aku juga pernah sakit, Mama kok gak nangis?” tanyaku semakin penasaran.
“Emm.. Sakitnya beda Pus! Mama enggak tahu nama penyakitnya, tapi kata ibunya Aidan penyakitnya itu langka dan bahaya” jawab Mamaku sambil menggelengkan kepalanya dan menghentikan aktivitasnya.
“Tapi bisa sembuhkan? Coba Mama yang periksa, ayo Ma ke tempat Aidan!” pintaku, sedikit memaksa Mamaku yang juga masih bekerja sebagai perawat di rumah sakit.
“Udah Pus, Aidan udah dibawa ke tempat dokter yang pinter kok. Kamu doain Aidan aja ya?” jawab Mamaku sambil menenangkanku.
“Pasti Ma! Tidak ada keindahan di bumi ini selain tolong-menolong dan saling mendoakan” kujawab saran Mama dengan Quote dari serial Beetleborg.
Keesokan harinya
Menurutku, Mamaku adalah orang yang paling transparan dan terbuka, dan aku juga dapat informasi penting darinya bahwa aku adalah satu-satunya teman sepermainan yang tahu bahwa Aidan sedang mengidap penyakit yang serius. Aku bermain bersama teman-temanku seperti hari-hari biasa, dan seperti biasa ada Adli dan Aidan juga. Kita pun bermain layaknya teman seperti biasa, tidak ada hal yang menyita pikiran tetapi senyuman dari bibir ini seakan enggan dan sungkan untuk berkembang, tidak ada senyuman sensual yang terlahir di sepanjang hari itu. Aku pun tersadar telah melihat hal yang aneh dan itu semakin menambah beban pikiranku kala itu, hal tak terduga adalah Adli, kakak Aidan. Dia melakukan sesuatu yang sama dengan apa yang aku lakukan yaitu bertingkah berbeda di aktivitas yang biasa dilakukannya. Wajah murung Adli dan dahinya yang selalu mengerutkan kulit menghiasi permainan sepak bola sore itu. Aku tidak barani melontarkan pertanyaan yang menjurus ke apa yang Adli dan Aidan rasakan, aku mencoba untuk menahan hasratku untuk membrondong mereka berdua dengan segudang pertanyaan. Di saat seperti itu rasanya mirip dengan ibu-ibu muda yang dengan susah payah menahan nafsu ngidamnya atau persis mahasiswa yang suka cari muka pada dosen tetapi dilarang bertanya ketika presentasi. Menyiksa!!!.
Beberapa minggu kemudian
Beberapa minggu berhasil aku lewati dengan susah payah, dengan acara curhat setiap hari dengan Mama sesaat setelah makan malam. Ada informasi baru yang cukup mengherankan dan mencemaskan bahwa Adli telah mengetahui bahwa Aidan mengidap penyakit berbahaya. Hal tersebut aku peroleh langsung dari Ibu Aidan, ketika beliau mengunjungi rumahku untuk bertemu Mamaku dan bercerita panjang lebar tentang kegelisahannya.
“Dek Yudha, kakaknya Aidan (Adli) sudah tahu kalo adiknya menderita sakit dalam yang parah” beliau berkata sambil mengelap hidungnya yang memerah dengan tissue.
“aku juga udah ngerasa kalo Adli tahu semua, beberapa minggu yang lalu malahan” jawabku sambil meninggikan pundakku.
“kemarin Adli bilang ke aku: “Bu’ kalo Aidan sakit, Adli juga sakit dong? Iya kan? Kata dokter umur kita enggak lama lagi kan?”.” Ibu Aidan bercerita ke Mamaku dan semakin menangis keras.
“udah to, udah. Dokter enggak selamanya tepat kok. Masih ada Allah yang maha kuasa” Mamaku menenangkan Ibu Aidan.
Tanpa menjawab dan semakin menangis hingga beliau hampir saja pingsan. Aku pun tidak tahan untuk mendengarkan dan memikirkan semua itu, air mata ku mengalir dengan lancarnya membasahi pipi dan aku langsung masuk ke kamar, ditempat itulah aku menangis dengan lincah. Bagaimana tidak? Adli dan Aidan adalah sahabatku, mereka merupakan obat yang tepat ketika aku merasa sedih, merupakan penenang setelah aku dimarahi Mamaku karna nilai matematika di rapot yang konsisten merah, dan ketika cinta-cinta monyetku terhempas dan bertepuk sebelah tangan, saudara kembar itu merupakan penasehatku, bahkan mereka adalah sosok penilai terhadap karya seni ku yang mubazir dan bakat-bakat lain yang menjadi pengangguran karena tidak mendapat izin dari Bapak untuk dikembangkan. Dan aku telah mendapatkan kabar yang sangat menyakitkan, sangat menggemparkan dan penuh dengan tangisan. “AIDAN TELAH MENINGGAL” kalimat yang Mamaku ucapkan subuh minggu itu adalah kalimat yang tidak mau aku dengar lagi. Badanku gemetar ketika melihat tubuh Ibu Aidan yang terpaksa ditahan tetangga, termasuk Bapakku karena mencoba meratap dan melakukan percobaan bunuh diri. Semua orang berbaju hitam dan meneteskan air mata seakan mereka juga sangat kehilangan Aidan, seperti Ayah dan Ibunya, seperti aku, seperti Mamaku, seperti Dyan, Usenawan, Fajar, Ricky, Hery dan teman-teman lainnya, dan seperti ADLI. Mataku mencoba memburu dimanakah Adli berada? Dan ternyata Adli berada di pelukan erat Ayahnya, tangisan Adli sampai tidak bersuara tetapi aku dapat dengan mudah mendengar tangisan dan jeritannya. Sangat keras! Aku tahu perasaan Adli yang tengah mendapati separuh jiwanya tidak akan pernah kembali, dia tidak sanggup melihat, merasakan bahkan mendengar semua ini, pelukan yang lebih erat ia berikan kepada Ayahnya. Aidan menghembuskan nafas terakhirnya dengan sangat tenang ia memberikan sebuah senyuman yang tak kalah manisnya dengan senyumanku. Bagiku ini adalah kehilangan sangat hilang, pasti begitu juga yang dirasakan oleh Adli, kami terbiasa menjadi satu dan tuhan telah mengambil separuhnya. Aku, Adli dan teman-teman yang lainnya berharap dan yakin jika surga adalah tempat bermain yang lebih asik dan lebih seru bagi Aidan, anak humoris penggemar Dragon Ball Z itu.
Beberapa bulan kemudian
Karena Ayah Adli yang juga seorang anggota TNI dipindah-tugaskan ke Jakarta, maka keluarga Adli memutuskan untuk berpindah ke Jakarta selain untuk keperluan pekerjaan, perpindahan itu juga bertujuan untuk menenangkan diri anggota keluarga Adli yang sempat mengalami tekanan batin terutama Ibu Adli. Walaupun mereka setiap tahun kembali, entah disaat idul fitri atau jika ada acara lain, namun aku dan teman-teman juga merasa kesepian akan perpindahan Adli. Tetapi hingga sekarang kami tetap bersahabat seperti masa kanak-kanak, bermain sepakbola masih merupakan agenda rutin jika kami semua bertemu kembali. Dengan semangat yang ditamankan oleh Aidan kepada kami semua, kami bertekad akan meraih cita-cita dengan sungguh-sungguh, dan berbakti kepada kedua orang tua.
“Walau batu nisan pisahkan dunia kita, namun semangat mu akan selalu membara. Hey Aidan! Berikan kami senyuman dari atas sana”
nice...
ReplyDeletemewek pas baca...:(
aah.. mbak becanda..
Delete