(Aku
bertemu dia)
(2/8) Jum’at itu memang
seperti biasanya, dan semua orang tetap memberinya nama “hari pendek”. Padahal
menurutku semua hari itu sama, 24 jam. Hari itu aku tetap ke kampus tidak
kuliah, mengurusi surat-surat organisasi. Entah apa yang aku pikirkankan,
melakukan hal yang tak pernah aku bayangkan sejak akan masuk perguruan tinggi.
Sepi, jangankan mahasiswa biasa-biasa itu, teman-teman se-organisasiku pun juga
sudah mulai pergi meninggalkan kampus a.k.a Mudik. Just enjoying my way.
Do: Waiting.
Aku masih duduk di Shelter menunggu seseorang dan sesuatu
yang ia bawa. Janah dan surat, aku menunggu mereka. Yakin deh ini akan
membosankan, dan ternyata keyakinanku dikuatkan oleh sebuah SMS dari Janah yang masuk ke Hapeku.
“Dit bantar yo, aku mandi dulu.”
Janah itu cewek, dan aku
paham betapa borosnya cewek-cewek menghamburkan air (batapa lamanya cewek mandi).
Hm, apa salahnya memanfaatkan wifi
untuk membunuh kebosanan. “Connection is fail,” kata laptop. Tenang, masih ada
novel yang belun selesai aku baca. Sapporo No Niji, unyu. Setting ceritanya di Jepang,
di Shelter anginnya sepoi-sepoi. Pas.
Janah datang. Dia
berjalan membelah dua lapangan tenis, dan angin yang sepoi-sepoi pun sedikit
mengibarkan jilbabnya. Aku langsung teringat Genji dalam film Crow Zero, preman
sekolahan yang siap tawuran. Pas.
Surat yang mau diurus sudah
siap, pun dengan yang mau ngurus. Aku dan Janah, oh iya dia adalah salah satu
teman imut di organisasi yang menunda kepulangannya ke kampung halaman demi
kelancaran acara yang telah direncanakan oleh teman-teman se-organisasi. So Sweet.
“Oke Pak, Kami dari: MO-TI-VA-SI,” serentak.
Mirip anak-anak band memperkenalkan diri.
“BLA BLA BLA,” jelas Pak
Pembantu Dekan.
“IYA,” jawab kami.
“BLA BLA BLA,” perintah
Pak Pembantu Dekan.
“Jadi Pak ?” kami
meyakinnkan.
“REVISI YA,” jawab Pak
Pembantu Dekan. Yang akhirnya memaksa kami mengeluarkan kata HUFT..
Oke, no problem.
Janah pergi ke Bank, dan
aku kembali ke Sekretariat Organisasi, LPM Motivasi. Artinya aku sendiri lagi.
No problem.
Keadaannya lebih baik
karena aku tidak menunggu seseorang ataupun benda macam apapun. It’s better
condition, and wifi is On. Membuka banyak Tab.
Facebook, twitter, and youtube. Artinya menunda membaca novel lagi. Cukup lama
menghabiskan waktu didepan internet, sampai lupa bahwa ini adalah hari jum’at. Hari
yang dipanggil “hari pendek” oleh manusia normal.
Do: Shalat Jum’at.
Menunggu waktu shalat
jum’at. Ternyata ada hal yang masih aku tunggu, waktu shalat jum’at. Tapi ini
adalah sesuatu yang pasti. Cukup lega mendengarnya. Dan lantai ini terlalu
dingin untuk diduduki dan wifi di dalam Sekre ini terlalu lelet untuk satu
orang yang kesepian. Membuka-buka buku curhat yang mulai sepi penulis dan
me-liar-kan pandangan ke sudut-sudut ruangan, berharap menemukan pemandangan
yang tak pernah kulihat walaupun sudah hampir 3 tahun menjadi penghuni ruangan
itu. Sepi.
“Assalamualaikuuum,”
teriak salam dari Winda. Suaranya seperti penjual Tambalan Panci. Riang.
Aduh, aku jadi meriang. Batinku. Oh iya,
Winda juga temanku di LPM Motivasi, selain itu sebenarnya dia juga temanku di
SMP. Tapi aku baru kenal di awal masuk Kuliah. Haha. “Waalaikumsalaaam,”
jawabku.
“Hai Dit, sendirian?,”
Tanya dia.
Aku belum bisa bedain.
Dia nyindir atau Tanya. “Menurut L?” aku balik nanya, agak kesel. Tapi enggak
apa-apa sih, teman-temanku emang unik semua.
“Dit, aku nitip temenku
ya. Ajak dan anterin ke Masjid, shalat jum’at,” pintanya.
“Oke, suruh masuk dulu
sini, seumuranku kan?” Jawabku pertanda mau. Dalam hati: Duh, Shalat Jum’at, berarti bukan cewek dong nih temannya si Winda.
“Dia Tuna-netra, anak
SMA,” jelas Winda, yang juga mahasiswa Pendidikan Luar Biasa.
Aku mengangguk tanda
paham. Sambil bersiap berdiri aku tersenyum. “Aku bisa enggak ya?” lirihku.
Menuju pintu keluar Sekre dan menghampiri Winda dan anak itu.
“Ini perkenalkan,
artisnya Motivasi, hehe ” kata Winda kepada anak itu. Mereka duduk di kursi
panjang depan Sekre.
Anak itu tersenyum ketika
mendengar ocehan Winda yang memperkenalkannya kepadaku. Teringat bahwa anak itu
adalah tuna-netra aku langsung menggapai tangannya untuk ku ajak bersalaman.
“Hai, Aku adit.”
“Wahyu,” dia mengangguk
menyebutkan namanya. Dan tersenyum.
Anak itu sederhana, baik.
Mengenakan kaos oblong putih, celana jeans dan sandal bapak-bapak. Rambutnya
ada yang putih, seperti kebanyakan temanku hee.. Tapi bagiku semua anak sama.
Jika mereka baik, aku akan baik. Jika mereka tidak baik, aku berusaha
menjadikan mereka baik. Bukankan itu adalah tujuan utama manusia ditelurkan ke bumi?
Semakin awal pergi ke
masjid itu artinya semakin baik kita dalam beribadah. Apalagi ini hari Jum’at.
Hari suci, julukan dari hari jum’at selain si
pendek. Dan artinya aku harus mulai berjalan bersamanya. “Ohya, sekolah
dimana?” pertanyaan pembukaanku, padahal aku sudah tahu jawabannya.
Do: Learn More.
Semakin banyak
pertanyaan-pertanyaan baru yang belum aku ketahui jawabannya, semakin banyak
kami bertanya-jawab. Mungkin sebanyak anak tangga yang kunaiki bersama anak itu
saat menuju ke suara adzan. Sesampai di samping masjid tempat air wudlu
sebagian orang melihat ke arah kami. Aku udah mandi, jadi aku keren kala itu.
Hee..
Aku meletakkan tanganku
ke tangannya, lalu tangannya keletakkan ke kran air. Tak se-ribet seperti
tulisannya kok. Setelah dia mengucurkan kran airnya, aku juga segera wudlu. Biasanya
aku bisa sangat lama bermain-main air segar, apalagi ini saat bulan puasa. Tapi
ini beda, aku mempercepat prosesi mensucikan
diri sebelum sholatku agar aku bisa segera menggandeng anak itu untuk
segera menuju ke dalam masjid. Jangan sampai dia menungguku, pikirku. Karena
menunggu itu butuh kesabaran, dan kesabaran itu adalah harta yang paling berharga,
ilmu yang paling sukar dan awan yang paling putih. Hee..
Sebelum kami masuk ke
tempat sholat, Wahyu sempat bertanya dan artinya aku harus menjawab. “Kak,
punya Facebook?” Tanya Wahyu. Pertanyaan mudah.
“Oh punya.” Jawab seorang
pemuda yang aktivitas facebooknya lebih sering daripada presensi kuliah. Hee..
“Boleh minta namanya?”
sambil mengencangkan gandengannya karna jalan agak menanjak.
“Oke nanti aku add aja,
namaku panjang soalnya,” jelasku. Dan semakin banyak orang yang memandangi
kami. “Kamu punya facebook?”.
“Punya,” jawabnya singkat
seakan dia paham, bahwa harus menghentikan pembicaraan ketika masuk ke masjid yang
hampir penuh tersebut.
Kok bisa ya, main facebook? Dalam hati.
Masuklah kami ke dalam
masjid melakukan sholat sebelum duduk, kami bersebelahan. Setelah dua reka’at
selesai, tugas kami adalah mendengarkan khotbah. Jujur, aku tidak bisa fokus
mendengarkan khotbah jum’at yang tidak pendek seperti julukan hari itu.
Pikiranku melihat seorang anak yang bernama Wahyu, anak yang tidak bisa
melihatku walaupun dia ada si samping kananku. Aku juga bingung kenapa aku
masih terasa aneh ke anak itu. Terkadang aku sedikit menyenggolkan tanganku ke
kakinya, agar dia tahu bahwa aku masih disampingnya dan dia tak perlu merasa
tersesat atau jauh dari orang yang dikenalnya. Oh, mungkin aku sedikit kurang
terbiasa untuk sangat dekat dengan anak-anak seperti Wahyu ini.
Okey. Aku jadi tidak
paham dengan khotbah yang disampaikan oleh Ustadz itu, seakan beliau
manyampaikan khotbahnya dengan bahasa China. Khotbah pun rampung dan sholat
dimulai. Seperti biasa Silakan isi shaf
kosong didepanmu, langsung aku menggandeng tangan Wahyu untuk mencari baris
yang lebih depan. Mungkin gandengan itu bisa bernama tarikan, karena sedikit
agak keras, agar lebih cepat. Aku terus kedepan mencari tempat kosong kalau
bisa didekat pintu agar lebih mudah untuk keluar. Kami sudah memenuhi tempat
terdepan. Walaupun anak itu tidak melihat, aku yakin dia bisa mendengar suara
pemimpin sholat yang begitu dekat. Semua orang didalam masjid siap melakukan
gerakan pertama dalam sholat. Allahu’akbar.
Wahyu disamping kananku.
Setelah salam, tanda
sholat Jum’at telah selesai. Tidak seperti saat berkenalan tadi, aku tidak bersalaman
dengan anak itu. Lagi-lagi aku menyenggolkan tanganku ke lengannya, tanda bahwa
aku masih didekatnya. It’s a sign, it’s a sign.
Setelah itu. Masih
didalam masjid, kami melakukan perbincangan panjang lebar. Tanya dan jawab.
Tentang keluarga, sekolah, kehidupan, hobi dan lain-lain. Banyak. Tidak akan
aku ceritakan semuanya disini. Yang membuatku terheran-heran adalah bahwa dia
adalah seorang yang berprestasi. Atlit Catur, lari dan bela diri. So Cool. Aku mengorek kisahnya dengan
detail, diikuti rasa kagum disetiap pertanyaan yang aku berikan kepadanya. Dia
sangat terbuka, mencurahkan perasaan hatinya. Cukup dewasa.
Dan aku, iri.
Sangat lama aku
berbincang bersamanya di masjid itu, sampai masjid itu hampir kosong. Seorang
dosen dan satu temanku yang sepertinya mau keluar masjid menghampiriku dan menyalamiku
dan wahyu, pertanda pamit. Pertama aku ulurkan tanganku untuk bersalaman dengan
mereka, kedua aku ulurkan tanganku ke tangan Wahyu. Ketiga aku ulurkan tangan
Wahyu ke tangan mereka untuk bersalaman. Tak se-rumit tulisan ini kok.
Setelah aku puas
mengobrol dengan anak itu, kami putuskan untuk kembali ke Sekre. Perjalanan
pulang kami berbeda dengan keberangkatan kami. Tadinya, anak-anak tangga itu
kami naiki, dan sekarang harus kami turuni. Mungkin bisa diibaratkan seperti
kehidupan, kehidupan yang penuh konsekuensi dan perputaran posisi dan keadaan.
Tak selamanya nyaman itu nyaman, tak selamanya tangis itu pedih. Semuanya pun
akan berlalu, sedih ataupun senang. seperti kalimat dalam dongeng kesukaanku:
This too shall pass.
Salah satu hal yang aku
kagumi dari teman-teman Tuna-netra: Mereka tak pernah menilai apapun dari
tampilan fisik.
TGIF!
Do: Do The Right Things.
…
0 comments:
Post a Comment