Wednesday 14 August 2013

WHY?




WHY ?

(Aku bertemu dia)



(2/8) Jum’at itu memang seperti biasanya, dan semua orang tetap memberinya nama “hari pendek”. Padahal menurutku semua hari itu sama, 24 jam. Hari itu aku tetap ke kampus tidak kuliah, mengurusi surat-surat organisasi. Entah apa yang aku pikirkankan, melakukan hal yang tak pernah aku bayangkan sejak akan masuk perguruan tinggi. Sepi, jangankan mahasiswa biasa-biasa itu, teman-teman se-organisasiku pun juga sudah mulai pergi meninggalkan kampus a.k.a Mudik. Just enjoying my way.

Do: Waiting.

Aku masih duduk di Shelter menunggu seseorang dan sesuatu yang ia bawa. Janah dan surat, aku menunggu mereka. Yakin deh ini akan membosankan, dan ternyata keyakinanku dikuatkan oleh sebuah SMS dari Janah yang masuk ke Hapeku. “Dit bantar yo, aku mandi dulu.”

Janah itu cewek, dan aku paham betapa borosnya cewek-cewek menghamburkan air (batapa lamanya cewek mandi). Hm, apa salahnya memanfaatkan wifi untuk membunuh kebosanan. “Connection is fail,” kata laptop. Tenang, masih ada novel yang belun selesai aku baca. Sapporo No Niji, unyu. Setting ceritanya di Jepang, di Shelter anginnya sepoi-sepoi. Pas.

Janah datang. Dia berjalan membelah dua lapangan tenis, dan angin yang sepoi-sepoi pun sedikit mengibarkan jilbabnya. Aku langsung teringat Genji dalam film Crow Zero, preman sekolahan yang siap tawuran. Pas.

Surat yang mau diurus sudah siap, pun dengan yang mau ngurus. Aku dan Janah, oh iya dia adalah salah satu teman imut di organisasi yang menunda kepulangannya ke kampung halaman demi kelancaran acara yang telah direncanakan oleh teman-teman se-organisasi. So Sweet.

 “Oke Pak, Kami dari: MO-TI-VA-SI,” serentak. Mirip anak-anak band memperkenalkan diri.

“BLA BLA BLA,” jelas Pak Pembantu Dekan.

“IYA,” jawab kami.

“BLA BLA BLA,” perintah Pak Pembantu Dekan.

“Jadi Pak ?” kami meyakinnkan.

“REVISI YA,” jawab Pak Pembantu Dekan. Yang akhirnya memaksa kami mengeluarkan kata HUFT..

Oke, no problem.

Janah pergi ke Bank, dan aku kembali ke Sekretariat Organisasi, LPM Motivasi. Artinya aku sendiri lagi. No problem.

Keadaannya lebih baik karena aku tidak menunggu seseorang ataupun benda macam apapun. It’s better condition, and wifi is On. Membuka banyak Tab. Facebook, twitter, and youtube. Artinya menunda membaca novel lagi. Cukup lama menghabiskan waktu didepan internet, sampai lupa bahwa ini adalah hari jum’at. Hari yang dipanggil “hari pendek” oleh manusia normal.

Do: Shalat Jum’at.

Menunggu waktu shalat jum’at. Ternyata ada hal yang masih aku tunggu, waktu shalat jum’at. Tapi ini adalah sesuatu yang pasti. Cukup lega mendengarnya. Dan lantai ini terlalu dingin untuk diduduki dan wifi di dalam Sekre ini terlalu lelet untuk satu orang yang kesepian. Membuka-buka buku curhat yang mulai sepi penulis dan me-liar-kan pandangan ke sudut-sudut ruangan, berharap menemukan pemandangan yang tak pernah kulihat walaupun sudah hampir 3 tahun menjadi penghuni ruangan itu. Sepi.

“Assalamualaikuuum,” teriak salam dari Winda. Suaranya seperti penjual Tambalan Panci. Riang.

Aduh, aku jadi meriang. Batinku.  Oh iya, Winda juga temanku di LPM Motivasi, selain itu sebenarnya dia juga temanku di SMP. Tapi aku baru kenal di awal masuk Kuliah. Haha. “Waalaikumsalaaam,” jawabku.

“Hai Dit, sendirian?,” Tanya dia.

Aku belum bisa bedain. Dia nyindir atau Tanya. “Menurut L?” aku balik nanya, agak kesel. Tapi enggak apa-apa sih, teman-temanku emang unik semua.

“Dit, aku nitip temenku ya. Ajak dan anterin ke Masjid, shalat jum’at,” pintanya.

“Oke, suruh masuk dulu sini, seumuranku kan?” Jawabku pertanda mau. Dalam hati: Duh, Shalat Jum’at, berarti bukan cewek dong nih temannya si Winda.

“Dia Tuna-netra, anak SMA,” jelas Winda, yang juga mahasiswa Pendidikan Luar Biasa.

Aku mengangguk tanda paham. Sambil bersiap berdiri aku tersenyum. “Aku bisa enggak ya?” lirihku. Menuju pintu keluar Sekre dan menghampiri Winda dan anak itu.

“Ini perkenalkan, artisnya Motivasi, hehe ” kata Winda kepada anak itu. Mereka duduk di kursi panjang depan Sekre.

Anak itu tersenyum ketika mendengar ocehan Winda yang memperkenalkannya kepadaku. Teringat bahwa anak itu adalah tuna-netra aku langsung menggapai tangannya untuk ku ajak bersalaman. “Hai, Aku adit.”

“Wahyu,” dia mengangguk menyebutkan namanya. Dan tersenyum.

Anak itu sederhana, baik. Mengenakan kaos oblong putih, celana jeans dan sandal bapak-bapak. Rambutnya ada yang putih, seperti kebanyakan temanku hee.. Tapi bagiku semua anak sama. Jika mereka baik, aku akan baik. Jika mereka tidak baik, aku berusaha menjadikan mereka baik. Bukankan itu adalah tujuan utama manusia ditelurkan ke bumi?

Semakin awal pergi ke masjid itu artinya semakin baik kita dalam beribadah. Apalagi ini hari Jum’at. Hari suci, julukan dari hari jum’at selain si pendek. Dan artinya aku harus mulai berjalan bersamanya. “Ohya, sekolah dimana?” pertanyaan pembukaanku, padahal aku sudah tahu jawabannya.

Do: Learn More.

Semakin banyak pertanyaan-pertanyaan baru yang belum aku ketahui jawabannya, semakin banyak kami bertanya-jawab. Mungkin sebanyak anak tangga yang kunaiki bersama anak itu saat menuju ke suara adzan. Sesampai di samping masjid tempat air wudlu sebagian orang melihat ke arah kami. Aku udah mandi, jadi aku keren kala itu. Hee..

Aku meletakkan tanganku ke tangannya, lalu tangannya keletakkan ke kran air. Tak se-ribet seperti tulisannya kok. Setelah dia mengucurkan kran airnya, aku juga segera wudlu. Biasanya aku bisa sangat lama bermain-main air segar, apalagi ini saat bulan puasa. Tapi ini beda, aku mempercepat prosesi mensucikan diri sebelum sholatku agar aku bisa segera menggandeng anak itu untuk segera menuju ke dalam masjid. Jangan sampai dia menungguku, pikirku. Karena menunggu itu butuh kesabaran, dan kesabaran itu adalah harta yang paling berharga, ilmu yang paling sukar dan awan yang paling putih. Hee..

Sebelum kami masuk ke tempat sholat, Wahyu sempat bertanya dan artinya aku harus menjawab. “Kak, punya Facebook?” Tanya Wahyu. Pertanyaan mudah.

“Oh punya.” Jawab seorang pemuda yang aktivitas facebooknya lebih sering daripada presensi kuliah. Hee..

“Boleh minta namanya?” sambil mengencangkan gandengannya karna jalan agak menanjak.

“Oke nanti aku add aja, namaku panjang soalnya,” jelasku. Dan semakin banyak orang yang memandangi kami. “Kamu punya facebook?”.

“Punya,” jawabnya singkat seakan dia paham, bahwa harus menghentikan pembicaraan ketika masuk ke masjid yang hampir penuh tersebut.

Kok bisa ya, main facebook? Dalam hati.

Masuklah kami ke dalam masjid melakukan sholat sebelum duduk, kami bersebelahan. Setelah dua reka’at selesai, tugas kami adalah mendengarkan khotbah. Jujur, aku tidak bisa fokus mendengarkan khotbah jum’at yang tidak pendek seperti julukan hari itu. Pikiranku melihat seorang anak yang bernama Wahyu, anak yang tidak bisa melihatku walaupun dia ada si samping kananku. Aku juga bingung kenapa aku masih terasa aneh ke anak itu. Terkadang aku sedikit menyenggolkan tanganku ke kakinya, agar dia tahu bahwa aku masih disampingnya dan dia tak perlu merasa tersesat atau jauh dari orang yang dikenalnya. Oh, mungkin aku sedikit kurang terbiasa untuk sangat dekat dengan anak-anak seperti Wahyu ini.

Okey. Aku jadi tidak paham dengan khotbah yang disampaikan oleh Ustadz itu, seakan beliau manyampaikan khotbahnya dengan bahasa China. Khotbah pun rampung dan sholat dimulai. Seperti biasa Silakan isi shaf kosong didepanmu, langsung aku menggandeng tangan Wahyu untuk mencari baris yang lebih depan. Mungkin gandengan itu bisa bernama tarikan, karena sedikit agak keras, agar lebih cepat. Aku terus kedepan mencari tempat kosong kalau bisa didekat pintu agar lebih mudah untuk keluar. Kami sudah memenuhi tempat terdepan. Walaupun anak itu tidak melihat, aku yakin dia bisa mendengar suara pemimpin sholat yang begitu dekat. Semua orang didalam masjid siap melakukan gerakan pertama dalam sholat. Allahu’akbar. Wahyu disamping kananku.

Setelah salam, tanda sholat Jum’at telah selesai. Tidak seperti saat berkenalan tadi, aku tidak bersalaman dengan anak itu. Lagi-lagi aku menyenggolkan tanganku ke lengannya, tanda bahwa aku masih didekatnya. It’s a sign, it’s a sign.

Setelah itu. Masih didalam masjid, kami melakukan perbincangan panjang lebar. Tanya dan jawab. Tentang keluarga, sekolah, kehidupan, hobi dan lain-lain. Banyak. Tidak akan aku ceritakan semuanya disini. Yang membuatku terheran-heran adalah bahwa dia adalah seorang yang berprestasi. Atlit Catur, lari dan bela diri. So Cool. Aku mengorek kisahnya dengan detail, diikuti rasa kagum disetiap pertanyaan yang aku berikan kepadanya. Dia sangat terbuka, mencurahkan perasaan hatinya. Cukup dewasa.

Dan aku, iri.

Sangat lama aku berbincang bersamanya di masjid itu, sampai masjid itu hampir kosong. Seorang dosen dan satu temanku yang sepertinya mau keluar masjid menghampiriku dan menyalamiku dan wahyu, pertanda pamit. Pertama aku ulurkan tanganku untuk bersalaman dengan mereka, kedua aku ulurkan tanganku ke tangan Wahyu. Ketiga aku ulurkan tangan Wahyu ke tangan mereka untuk bersalaman. Tak se-rumit tulisan ini kok.

Setelah aku puas mengobrol dengan anak itu, kami putuskan untuk kembali ke Sekre. Perjalanan pulang kami berbeda dengan keberangkatan kami. Tadinya, anak-anak tangga itu kami naiki, dan sekarang harus kami turuni. Mungkin bisa diibaratkan seperti kehidupan, kehidupan yang penuh konsekuensi dan perputaran posisi dan keadaan. Tak selamanya nyaman itu nyaman, tak selamanya tangis itu pedih. Semuanya pun akan berlalu, sedih ataupun senang. seperti kalimat dalam dongeng kesukaanku: This too shall pass.

Salah satu hal yang aku kagumi dari teman-teman Tuna-netra: Mereka tak pernah menilai apapun dari tampilan fisik.

TGIF!

Do: Do The Right Things.
Categories:

0 comments:

Post a Comment