Tuesday 24 November 2015

Buta Politik.


“Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa, dari kebodohan politiknya, lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.” 
-Bertolt Brecht.

Jika dikaitkan dengan tanggal 9 Desember mendatang (Pilkada 2015), apa yang dikatakan Paman Bertolt tentang buta politik di atas mungkin bisa dijadikan penyemangat atau pembuka mata untuk lebih mengetahui dengan baik calon yang akan menjadi kepala daerah kita masing-masing, lalu pada akhirnya menjauhkan diri dari sikap apatis politik ataupun golput. Namun beda halnya jika kita langsung menengok apa yang dilakukan Setya Novanto, —entah salah atau benar, semua punya hak untuk beropini— pertemuan dengan Donald Trump, lalu kini kasus dugaan pencatutan nama presiden dalam pembicaraan kelanjutan kontrak Freeport yang memasuki babak baru, yaitu masuk pada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) bisa membuat rakyat Indonesia sengaja membutakan diri dari politik. Wait and see.

Masih berkaitan dengan Pilkada 2015. Begitu membingungkan untuk menjadi seorang pemilih, kalau tidak memilih disebut apatis, tapi tak jarang juga salah pilih. Saya pribadi sebagai masyarakat daerah kadang merasa tidak memiliki pemimpin daerah, entah saya yang acuh, entah kerja pemimpin daerah yang tak bisa dilihat atau dirasakan, bahkan mungkin karena memang tidak ada hal yang berubah dari tahun sebelumnya ke tahun selanjutnya. Di daerah saya pun, sampai tulisan ini diturunkan, tak ada pengenalan calon yang dilakukan oleh tim sukses atau apapun itu sebutannya, mungkin mereka pikir kami tak perlu tahu atau bahkan mereka menganggap kami terlalu goblok untuk mencerna visi-misi politik. Dan mungkin pada akhirnya mereka lebih percaya dengan recehan Rp. 20.000 untuk menggoda pemilih dari daerah kami agar memilih calon yang hatinya telah mengasingkan diri dari masyarakat.

Memang tak dapat disangkal jika masyarakat masih memiliki teori “bakal milih yang ngasih duit paling banyak”. Hal yang biasa, bahkan mereka menyebutnya rezeki. Faktor ekonomi? Menurut saya tidak hanya itu, faktor busuknya moral calon-calon nakal besar pengaruhnya. Kalau hal itu tidak bisa diperbaiki, ya wakil rakyat atau pemimpin-pemimpin daerah Indonesia Cuma gitu-gitu aja.

Pernah dalam sebuah diskusi, Sudjiwo Tedjo mengatakan bahwa tanda-tanda hilang atau setidaknya berkurangnya korupsi di Indonesia adalah semakin sedikitnya orang-orang yang mencalonkan diri untuk menjadi Presiden, DPR, DPRD, Kepala Daerah, dan pejabat sejenis lainnya. Saya sangat setuju dengan pendapat Presiden Jancukers tersebut, karena gaji yang diperoleh terhitung kecil jika dibandingkan dengan kerjaannya yang sebenarnya berat, membutuhkan tenaga dan pikiran yang total. Kalau niat awalnya kerja seadanya atau menggampangkan ya semua pasti mau mencalonkan diri.

Oke, lihat saja apa yang bisa mereka lakukan. Calon pemimpin daerah yang terlihat sangat bernafsu menjabat. Oh iya, kita lihat juga MKD bisa berbuat apa. Kita lihat, siapa yang telah kehilangan Hati.
Categories:

0 comments:

Post a Comment