Tuesday 3 November 2015

Don't Judge People Just from the Job.



Dilema Cumlaude dan Pegawai Negeri Sipil.

“Mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa Tes.” Petikan judul berita disamping terbukti banyak mengundang tanggapan dari berbagai pihak, terutama mahasiswa dan setidaknya mantan mahasiswa. Beberapa hari lalu, via portal berita online, pemerintah mewacanakan akan mengangkat mahasiswa Cumlaude menjadi PNS tanpa test. Dan karena itulah tulisan ini diturunkan. Menurut saya poin yang menjadikannya laris akan komentar adalah Cumlaude dan PNS. Yap! Cumlaude dan PNS. Faktanya, mahasiswa yang tergabung dalam organisasi kampus lebih sering membicarakan kedua topik tersebut dibandingkan mahasiswa lainnya, mungkin karena kultur diskusi yang telah terbangun. Bukan tanpa sebab, sebagai bocah yang pernah memeluk hangatnya berorganisasi di kampus, saya ingat beberapa kali melakukan perbincangan tentang topik klasik ini. Kalian mungkin juga pernah mendiskusikan predikat Cumlaude dan pekerjaan sebagai PNS namun saya yakin kalian melakukannya dalam waktu yang berbeda. Kini mereka menjadi bahan olokan omongan secara bersamaan.

Cumlaude, menurut saya adalah sebuah prestasi. Namun seperti hal lainnya, banyak pendapat tentang cumlaude yang beredar bebas, khususnya di kampus. Berawal dari pertanyaan pertama: “penting engga sih Cumlaude?” Kembali lagi, menurut saya Cumlaude adalah sebuah prestasi. Prestasi datang dari sebuah perencanaan, tetapi tidaklah mustahil bila prestasi datang tanpa rencana dan persiapan. Pertanyaan balik: “siapa yang mau nolak prestasi?”

Nada sumbang yang terdengung misalnya, “Oh Cumlaude? Kampus-kos-kampus-kos. Cuma mikir kuliah terusss, study oriented sih.” Pertanyaan ini kebanyakan berasal dari mahasiswa pelaku organisasi kampus. Dasar awalnya adalah terkadang belajar itu sesuai kebutuhan. Nah, mungkin mahasiswa yang tidak ikut organisasi kampus tersebut memang secara sadar ingin fokus dan memaksimalkan diri dalam perkuliahan di kelas (bukan berarti mahasisawa pegiat organisasi kampus tidak bisa/ada yang fokus & maksimal), atau mereka telah mendapatkan kebutuhan lainnya* (organisasi dan lainnya) di luar kampus.  Bisa saja. Bisa saja mereka yang biasa dikatakan Study Oriented* (harusnya kuliah ya memang berorientasi belajar) ini lebih berkontribusi terhadap masyarakat dibanding yang terlihat lebih giat ikut organisasi kampus.

PNS. Pegawai Negeri Sipil. Entah salah apa pekerjaan satu ini. Tapi saya masih yakin! Mayoritas orang tua di Indonesia ingin* (enggak masalah/bahagia-bahagia aja) kalau anak atau menantunya menjadi PNS. Dan PNS seperti kalimat pemalu yang selalu enggan keluar dari mulut aktivis kampus/pegiat organisasi kampus ketika ditanya tentang “setelah kuliah mau jadi apa?”. Sungkan dan kekinian. “Mau jadi apa Dek?” | “PNS Mas.” | “Wah, apa engga bosen dek? Kerjaan monoton. Cupu.” Mungkin karena PNS bukanlah pekerjaan ideal bagi organisasi kampus. Organisasi pecinta alam lebih suka dengan anggota yang memiliki cita-cita menjadi Bolang. Wartawan, jelas menjadi primadona senior-senior di organisasi pers kampus, sama seperti halnya politikus, pekerja teater bahkan cita-cita menjadi Uztad menjadi pilihan pertama bagi mahasiswa yang ada di organisasi masing-masing. Bahkan mungkin ada senior di kampus yang lebih kejam akan bilang, “Mau jadi penjilat? Makan gaji buta?”. Hm.. untuk senior, kalau kalian memang selalu membantah atau lebih tepatnya semua orang tidak kalian bolehkan menjadi PNS, ya lebih baik langsung kasih mereka pekerjaan. Jangan seperti dukun abal-abal, Cuma bilang “Jangan kerja di Air.”

How can received.

    “Oh, jadi PNS sekarang? Punya orang dalem yah?”
    “Oh Cumlaude, pantesan dulu deket-deket dosen mulu. Pinter menjilat sih”
    *Saya pernah mendengar pertanyaan seperti itu. Jadi bukan Su’udzon bertingkat (men-su’udzon-i orang yang su’udzon).

Betapa hancurnya perasaan orang-orang yang berusaha dengan jalan yang benar, lalu mendengar pertanyaan tak berdasar seperti itu. Tapi tidak apa-apa, karena rasa iri dan curiga selalu dekat dengan manusia. Coba posisikan diri kita sebagaimana mereka. Ah itu susah sekali. Terkadang sesuatu terkesan terjadi dengan tiba-tiba, padahal Allah Maha Perencana. Pastilah ada proses, setiap proses tidak perlu dipublikasikan, pasti dikira pamer. Duh.

Tiba-tiba di Timeline facebook teman lama telah memakai seragam PNSnya. Ada yang kaget, ada pula yang terinspirasi. Tiba-tiba di acara Wisuda, teman sekelas kita memakai selempang Cumlaude. Tak percaya, ada juga yang ikut senang. “Wah masa kaya dia jadi PNS?”, “Beneran tuh Cumlaude? Perasaan engga pernah baca buku, engga kritis dan kalau debat pun menangan aku.” Pasti selalu ada yang berpikiran seperti itu. *Lalu, apa iya kalau kita melakukan hal buruk seperti yang kita tuduhkan, akan membuat kita mendapatkan hal yang mereka dapatkan? *baca lagi.

Lihat Orang Tuanya.

Jika belum bisa memposisikan diri sendiri sebagai orang yang kita “hakimi”, cobalah melihat orang tuanya. Mereka yang kita judge berusaha membuat bibir bapak-ibunya tersenyum. Karena orang tua orang lain itu juga tetaplah orang tua. Hormatilah. Betapa bahagianya melihat anaknya duduk di barisan paling depan, mengenakan selempang Cumlaude yang matching dengan warna kulitnya. Mungkin hal seperti itu terasa biasa saja bagi sebagian orang, namun untuk orang tua yang berhasil memasukkan anaknya kuliah untuk pertama kali, bahkan untuk orang tua yang baru pertama kali masuk ke kampus. Marvelous! “Ya allah, anakku duduk dibangku paling depan.”

Mungkin ada sebagian orang tua yang melihat pekerjaan menjadi PNS adalah pekerjaan yang biasa saja bahkan menjadi pilihan terakhir. Tetapi beda halnya dengan orang tua yang mungkin hanya bisa melihat tanah air ini dari televisi di ruang keluarga, melihat anaknya diterima menjadi Pegawai Negeri Sipil. Terkadang mereka tidak pernah melihat berapa besarnya gaji* (hal yang selalu menjadi perdebatan untuk oranglain) yang diterima anaknya setelah menjadi PNS. “Terimakasih ya Allah, engkau titipkan kebahagiaan dan kebanggaan lewat anak kami satu-satunya. Dia begitu bersemangat melayani masyarakat. Membela Negara dengan caranya, dengan rencanamu.”

Berlaku Adil.

Apakah manusia bisa adil? Adil adalah kata yang mudah diucapkan, namun begitu sukar dilakukan. Kita bebas berkata bahwa satu atau beberapa hal termasuk tidak adil. Memang banyak hal menurut kita tidak adil, walaupun sekadar pandangan mata. Dalam kasus “Mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa Tes,” banyak orang yang berkomentar “Ah tidak adil!,” “Emang Cumlaude udah pasti bagus?,” sampai “Ah apalah PNS! Kerjaan apa.” Yakinlah, Allah menurunkan masing-masing manusia untuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Memberi manfaat kepada lingkungan dan manusia lainnya sesuai peran dan kadar yang pastinya tak sama.

Mungkin memang ada PNS yang kerja biasa saja, tidak kreatif, dan bahkan makan gaji buta. Tapi apakah sebuah hal yang mustahil jika ada PNS yang tetap menjalankan amanah dengan baik. Bisa jadi apa yang kita sangkakan kepada mereka telah mengganggu kinerja mereka, sampai akhirnya kita lah yang membuat mereka tidak kreatif dan makan gaji buta. Pernah berpikir seperti itu? Lebih baik menjadi PNS dengan kontribusi kecil (padahal sudah maksimal), daripada menjadi pengusaha yang hanya memperkaya diri, bahkan asing bagi lingkungan dan masyarakatnya. *Meskipun memang banyak pengusaha yang mengabdi kepada masyarakat dan lingkungannya. Lebih baik menjadi PNS dengan label negatif (walaupun sebenarnya selalu menjaga diri), daripada menjadi wartawan bodong yang menjadikan pemerasan sebagai kesibukan utama. *Walaupun pasti lebih banyak wartawan yang setia menjadikan profesinya selalu bersifat profetik. Memang membandingkan hal seperti ini bukanlah hal yang adil. Kacau.

“Tidak adil jika mahasiswa Cumlaude akan dijadikan PNS tanpa tes!.” Apakah yang kita pikirkan tentang Cumlaude dan PNS bisa dikatakan adil?

Adil hanyalah mitos! Mungkin.


*Tulisan ini dirajut oleh anak yang ingin mencicipi semua profesi. Melakukan semua hal yang diinginkan. Kasihan. Kekinian.
...
Categories:

0 comments:

Post a Comment